Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 Mei 2011

Pemerintah RI Harus Tegas Konfik Antarumat Agama Semakin Meningkat

Jika Tigak Tegas Cukup Membahayakan Perpecahan Antar Umat




Jakarta, "kba.ajiinews"


Tahun 2010 Ada 28 Pengrusakan Tempat Ibadah

Sepanjang 2008-2010, konflik antarumat beragama trennya terus meningkat. Jika didiamkan, dikhawatirkan akan meluas menjadi kerusuhan.

Toleransi antarumat ber­aga­ma belakangan mulai sedikit lun­tur. Berdasarkan data yang dite­rima Rakyat Merdeka dari SETARA Institute, angka pengru­sa­kan rumah ibadah dan tindak anarkis antarumat beragama meningkat.

Sepanjang 2008 tercatat 17 peristiwa konflik antarumat ber­aga­ma yang terjadi. Jumlah ter­se­but meningkat pada 2009 menjadi 18 kasus, dan kini baru perte­nga­han 2010 saja tercatat sudah 28 kasus pengrusakan tempat iba­dah dan tindakan anarkis ter­hadap umat beragama.
“Melihat angka-angka ini kita sangat prihatin. Bayangkan ini baru pertengahan tahun sudah 28 kasus konflik antarumat ber­aga­ma,” kata Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naispospos kepadaRakyat Merdeka.

Dari 28 kasus konflik antar­umat beragama yang terjadi sepanjang 2010, dijelaskan Tigor, paling banyak terjadi pada Januari dan Februari.

Dari berbagai tindak kekerasan yang terjadi, kebanyakan berupa penyegelan dan penolakan pem­bangunan rumah ibadah dengan alasan keberadaan rumah ibadah tersebut, mengganggu dan meresahkan masyarakat.

Argumentasi tak mengantongi izin pembangunan dan tidak sesuai dengan tata ruang yang dilontarkan aparat pemerintah, juga ikut melatari aksi penolakan dan penyegelan pembangunan rumah ibadah.

Anehnya, deret panjang catatan kasus tersebut tak menggedor perhatian pemerintah sama se­kali. Hingga kini, menurut Tigor, Presiden SBY tak pernah meng­ingatkan atau ber­ko­men­tar tentang kasus kekerasan yang menimpa umat beragama.

“SBY cuma malu ketika kasus video porno artis disorot media luar negeri, tapi kenapa masalah ini nggak? Padahal kasus ini banyak juga disorot oleh media lokal dan asing. Jadinya, hal ini seperti tragedi moral bangsa,” imbuhnya.

Lebih lanjut Tigor mengatakan, kemungkinan ada tiga alasan mengapa Presiden belum memberi perhatian ter­ha­dap kasus tersebut. Pertama, mung­kin saja pemerintah mem­pertim­bangkan faktor pencitraan.

Kedua, Presiden memper­tim­bangkan kasus tersebut jika diangkat bisa menggoyang du­kungan politik terhadapnya. Dan mungkin saja, Presiden ingin berhati-hati.

“Jadi sekarang kita tunggu saja, sikap negarawan Presiden di masa pemerinta­han­nya yang terakhir, apakah dia mau dikenang sebagai orang yang memelihara keberagaman, atau tidak,” tandasnya.

Di tempat terpisah, Ketua Subkomisi Pengkajian dan Penilitian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Baso, menggugat peran kepolisian dalam meredam aksi anarkis antarumat beragama.

“Dalam memberantas teroris Polri terlihat sangat sigap. Tapi kalau menyangkut kasus anar­kis­me umat beragama, peneggakkan hu­kum yang mereka lakukan ma­sih sangat kurang,” ujar Ahmad Baso.

Ahmad Baso menjelaskan, berdasarkan pantauan Komnas HAM di beberapa titik rusuh agama, polisi terlihat seperti membiarkan aksi anarkisme terhadap umat beragama.

“Memang di beberapa titik belum sampai terjadi kekerasan fisik, tapi itu kan salah satu bentuk intimidasi”, tambahnya.

Jika polisi tak lekas bertindak, lanjut Ahmad Baso, bukan tidak mungkin nanti kepolisian nanti bisa dituding terlibat kasus pelang­garan HAM. Sebab, ber­dasarkan undang-undang, negara menjamin kebe­basan rakyat untuk menjalankan keyakinannya.

Gara-gara Aturan Main Umat Beragama Rusuh

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ichwan Sam menilai, rusuh umat ber­aga­ma juga disebabkan karena atu­ran main tentang pembangunan rumah ibadah tak dipenuhi umat beragama.

Sebenarnya, dijelaskan Ichwan Syam, ada ketentuan yang meng­atur syarat apa saja yang wajib dipenuhi sebelum membangun rumah ibadah.

“Misalnya nggak boleh mem­bangun masjid atau gereja jika di wilayah tersebut nggak ada je­maahnya, atau sangat sedikit umatnya. Jadi dengan begitu nggak bisa seenaknya saja mem­bangun rumah ibadah,” kata Ichwan.

Kendati begitu, Ichwan tetap mengecam setiap tindak keke­rasan yang mengatasnamakan agama. Setiap umat bergama ha­rus toleran. “Jangan sampai ada provokator-provokator yang senangnya menyulut konflik antar umat beragama.”

Ketua Umum Persekutuan Gereja Indonesia, Andreas Yewangoe menilai rusuh perusa­kan dan penyegelan rumah ibadah sepenuhnya merupakan kesalahan pemerintah.

“Negara harusnya melindungi jika ada ketegangan dalam masyarakat, karena ini merupakan kewajiban konstitusi,” katanya.

Jika konflik ini terus didiamkan, umat beragama akan merasakan hak kebeberasan untuk memeluk dan beribadah tercerabut.

Lantas bagaimana tanggapan kepolisian sebagai institusi yang bertugas mengayomi masyarakat? Kepala Bidang Penerangan Umum (Kabidpenum) Mabes Polri, Komisaris Besar Marwoto Soeto menyangkal tudingan jika polisi dianggap diam saat menangani konflik antarumat beragama.

Marwoto bilang, polisi tidak pernah membiarkan tindak keke­rasan. Polri selalu berkoordinasi de­ngan pihak lain untuk mengeliminir terjadinya tindak kekerasan.

“Kita kan menginginkan masyarakat yang damai. Jadi kita pasti berusaha melindungi semua pihak”, katanya.

Selain itu, Polri juga selalu mengedepankan pendekatan persuasif dengan memfasilitasi pertemuan antarkedua pihak yang bertikai, untuk meminimalisir tindak kekerasan.

“Tapi kalau pihak yang kita ajak berbicara tetap bersikeras, kita akan mengambil tindakan represif dan seterusnya”, ujarnya lagi.

Polisi juga mengutuk tindak kekerasan dengan mengatas­nama­kan agama. Menurut dia, agama tak pernah mengajarkan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.

Kalau Dibiarkan Nanti Bisa Merembet
Kepercayaan Terhadap Pemerintah Anjlok

Pengamat politik Univer­sitas Islam Negeri Syarief Hi­daya­tullah, Andi Syafrani punya pendapat sendiri. Menurut dia, kon­flik keagamaan yang me­rebak lagi baru-baru ini dipicu oleh anjloknya ketidak­per­cayaan publik terhadap pemerintah.

“Di sisi lain, tingkat keyaki­nan beragama dari beberapa pihak justru meningkat, inilah yang memicu. Hal itu diper­parah dengan buruknya pela­yanan kemanan yang diberikan oleh pemerintah,” ungkap Andi.

Andi menyarankan Presiden SBY secepatnya menyi­kapi rentetan persitiwa keke­rasan tersebut dan meramu ke­bijakan yang efektif agar tidak meluas. “Jangan tempatkan kasus tersebut di urutan ke 100.”

Sosiolog Universitas Indo­nesia, Paulus Wirutomo me­nga­takan, konflik antar golo­ngan sangat mungkin terjadi di negeri yang pluralis seperti Indonesia.

Namun yang terpenting konflik tersebut tidak diwarnai dengan tindak kekerasan. “Karena apapun alasannya, kekerasan yang berbau agama harus dihin­dari. Negara ini negara hukum, maka jangan pernah bertindak sendiri,” katanya.

Konstitusi, lanjut Paulus, memberi jaminan kepada setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut agama kepercayaannya.

Jadi, jelas Paulus, perilaku kelompok tertentu yang brutal, anarkis dan memaksakan agama tak bisa disebut sebagai karakter bangsa.

“Pemerintah harus selalu menjadi penengah dengan menindak tegas para pelaku konflik,” tandasnya.

Anggota Komisi Hukum DPR, Eddy Ramli Sitanggang berha­rap pemerintah secepat­nya mengambil langkah tegas ter­hadap persoalan ini.

“Isu agama kalau dibiarkan bisa meluas dan jadi gawat. Awal­nya mungkin hanya kon­flik perorangan, tapi kalu dibiarkan akan melibatkan banyak orang,” tambah anggota Fraksi Partai Demokrat ini.

Untuk mencegah meluasnya konflik, dijelaskan Eddy, peme­rintah bisa menempuh langkah per­suasif melalui Kementerian Agama. “Kalau bisa berkoor­dinasi dengan baik, saya rasa tingkat Polsek saja sudah dapat mere­dam masalah tersebut,” tambahnya.sumber rakyat merdeka [RM]-//kba,ajiinews//galang//

Selasa, 08 Februari 2011

Gereja Dirusak Di Tumanggung..............................?

Menkopolhukam Kutuk Perusakan Dan Tangkap Pelaku

Jakarta-"kba-GALANG"

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto mengutuk tindakan anarkis terhadap sebuah gereja di Temanggung, Jawa Tengah, Selasa.

"Saya mengutuk tindakan anarkis perusakan gereja dan kendaraan serta fasilitas lain di Temanggung," katanya kepada ANTARA di Jakarta.

Ia meminta Kapolda segera menangkap siapapun yang melakukan tindakan itu dan diadili secepatnya.

Djoko menegaskan, Pemerintah tidak mentolerir segala bentuk kekerasan oleh siapa pun kepada siapa pun sesama Warga Negara Indonesia, apa pun alasannya.

"Jadi peristiwa itu harus diusut tuntas dan ditindak tegas pelakunya," katanya menegaskan.

Setidaknya tiga gereja di Temanggung, Jawa Tengah, rusak karena menjadi sasaran amuk massa menyusul kerusuhan dalam persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Antonius Richmond Bawengan di Pengadilan Negeri Temanggung, Selasa.

Gereja Bethel Indonesia yang berjarak sekitar dua kilometer dari PN Temanggung mengalami kerusakan akibat pembakaran oleh kelompok massa tersebut.

Sebuah bangunan sekolah taman kanak-kanak yang berada di lingkungan gereja terbakar pada sejumlah bagian.

Termasuk enam unit motor hangus terbakar akibat insiden tersebut.

Selain itu, pembakaran juga terjadi di Gereja Pantekosta Temanggung. Belum diperoleh laporan mengenai dampak pembakaran di gereja tersebut.

Sementara itu, Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus juga sempat dirusak massa. Bagian depan gereja rusak dilempari batu.

Aksi kerusuhan dipicu setelah jaksa penuntut umum membacakan tuntutan 5 tahun untuk terdakwa Antonius, pada sidang penistaan agama.

Atas dakwaan itu, massa langsung menyerbu terdakwa dan meja sidang.

Segera setelah itu, majelis hakim langsung diamankan dan dilarikan ke luar ruang sidang.

Massa di luar mengamuk, memecahkan kaca-kaca jendela, dan membakar kendaraan yang ada di sekitar gedung pengadilan.

Kasus yang menjerat warga asal Manado ini terjadi pada 3 Oktober 2010. Ketika itu Bawengan, yang menggunakan KTP Kebon Jeruk, Jakarta Barat, menginap di tempat saudaranya di Dusun Kenalan, Desa/Kecamatan Kranggan, Temanggung.

Semula ia hanya semalam di tempat itu untuk melanjutkan pergi ke Magelang.

Namun, waktu sehari tersebut digunakan untuk membagikan buku dan selebaran berisi tulisan yang dianggap menghina umat Islam. Karena itu, sejak 26 Oktober 2010 ia ditahan-sumber antara-//kba.ajiinews//galang//remaja.com//

Minggu, 16 Januari 2011

Gereja 2.442 Dirusak Paling Banyak Terjadi Di Pulau Jawa

Masyarakat Tidak Menerima Perbedaan.

OLEH: HERU GUNTORO

Jakarta - Perusakan terhadap gereja mening­kat tajam sejak tahun 2004. Diperhitungkan ada sekitar 2.442 gereja dalam periode 2004–2010 yang mengalami gangguan berupa perusakan dan penutupan. Tidak hanya gereja, sarana tempat ibadah lain pun tak luput dari perusakan.

Sosiolog Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola Tamrin, melihat kasus perusakan rumah ibadah menjadi masalah tersendiri di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia juga menilai, aparat keamanan pun seakan tidak berdaya melihat kearogansian sekelompok masyarakat yang tidak bisa menerima perbedaan.
“Mereka itu hanya sedikit dari umat muslim, dan peme­rintah semestinya dapat bertindak tegas,” kata Tamrin di Jakarta, Jumat (14/1).
Tamrin menilai, walaupun SBY hanya menjalani pemerintahan kurang dari sepuluh tahun, ia tetap tidak berdaya menghadapi kasus intoleransi akan kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Sementara itu, menurut catatan Forum Kerukunan Kristiani Jakarta (FKKJ), ­jumlah gereja yang diganggu dalam tahun 2010 telah meningkat menjadi 47 kasus dengan jumlah yang paling banyak terjadi di wilayah pulau Jawa bagian Barat. Pada tahun 2009, FKKJ hanya mencatat ada sekitar sepuluh kasus gangguan atas gereja-gereja. Pada tahun baru lalu telah ­terjadi lonjakan sebanyak ­hampir lima kali lipat.

Tamrin menegaskan, semua permasalahan tersebut seharusnya bisa diselesaikan dengan dialog. “Jangan mengambil sikap apriori ­terhadap sesuatu dan terlebih lagi jangan pernah menutup pintu dialog dalam menghadapi masalah seperti itu,” kata Tamrin.
Penolakan terhadap pendirian rumah ibadah, papar Tamrin, juga bisa disebabkan karena adanya penafsiran yang salah akan ayat-ayat pada kitab suci. “Para tokoh agama pun mempunyai andil, jangan sampai mereka (tokoh agama) salah dalam menafsirkan ayat-ayat pada kitab suci,” katanya.

Ditemui di tempat yang sama, tokoh Kristiani John Palinggi menilai sudah saatnya gereja dapat memberikan ­kontribusi nyata terhadap lingkungan sekitar dalam ­bentuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ia menilai, ada sentimen ekonomi terhadap umat Kristiani, dan terkadang umat Kristen tidak menyadari hal itu.
“Coba masyarakat diberdayakan dari sisi ekonominya maka sentimen negatif pun akan lenyap,” ujar John. n


OLEH: HERU GUNTORO

Jakarta -"kba.ajiinews"

Perusakan terhadap gereja mening­kat tajam sejak tahun 2004. Diperhitungkan ada sekitar 2.442 gereja dalam periode 2004–2010 yang mengalami gangguan berupa perusakan dan penutupan. Tidak hanya gereja, sarana tempat ibadah lain pun tak luput dari perusakan.

Sosiolog Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola Tamrin, melihat kasus perusakan rumah ibadah menjadi masalah tersendiri di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia juga menilai, aparat keamanan pun seakan tidak berdaya melihat kearogansian sekelompok masyarakat yang tidak bisa menerima perbedaan.
“Mereka itu hanya sedikit dari umat muslim, dan peme­rintah semestinya dapat bertindak tegas,” kata Tamrin di Jakarta, Jumat (14/1).

Tamrin menilai, walaupun SBY hanya menjalani pemerintahan kurang dari sepuluh tahun, ia tetap tidak berdaya menghadapi kasus intoleransi akan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sementara itu, menurut catatan Forum Kerukunan Kristiani Jakarta (FKKJ), ­jumlah gereja yang diganggu dalam tahun 2010 telah meningkat menjadi 47 kasus dengan jumlah yang paling banyak terjadi di wilayah pulau Jawa bagian Barat. Pada tahun 2009, FKKJ hanya mencatat ada sekitar sepuluh kasus gangguan atas gereja-gereja. Pada tahun baru lalu telah ­terjadi lonjakan sebanyak ­hampir lima kali lipat.

Tamrin menegaskan, semua permasalahan tersebut seharusnya bisa diselesaikan dengan dialog. “Jangan mengambil sikap apriori ­terhadap sesuatu dan terlebih lagi jangan pernah menutup pintu dialog dalam menghadapi masalah seperti itu,” kata Tamrin.
Penolakan terhadap pendirian rumah ibadah, papar Tamrin, juga bisa disebabkan karena adanya penafsiran yang salah akan ayat-ayat pada kitab suci. “Para tokoh agama pun mempunyai andil, jangan sampai mereka (tokoh agama) salah dalam menafsirkan ayat-ayat pada kitab suci,” katanya.

Ditemui di tempat yang sama, tokoh Kristiani John Palinggi menilai sudah saatnya gereja dapat memberikan ­kontribusi nyata terhadap lingkungan sekitar dalam ­bentuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ia menilai, ada sentimen ekonomi terhadap umat Kristiani, dan terkadang umat Kristen tidak menyadari hal itu.
“Coba masyarakat diberdayakan dari sisi ekonominya maka sentimen negatif pun akan lenyap,” ujar John. sumber sinar harapan.//kba.ajiinews//.

Sabtu, 08 Januari 2011

Tujuh Agama Di Indonesia Pentingnya Kerukunan

2010, Terjadi 117 Kasus Kekerasan Atas Nama Agama


[JAKARTA]-"kba=ajiinews"

Sepanjang tahun 2010, telah terjadi sebanyak 117 kasus kekerasan dengan mengatasnamakan agama termasuk gangguan terhadap rumah ibadah. Kondisi tersebut cukup memprihatinkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal itu mendorong perwakilan dari para penganut agama di Tanah Air menggelar sebuah seminar untuk mengenang setahun wafatnya mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dinilai sebagai tokoh pruralisme di Indonesia.

“Kegiatan ini dimaksudkan untuk meneladani kiprah Gus Dur dalam kehidupan bergama, berbangsa dan bernegara. Kami ingin menatap masa depan Indonesia yang lebih baik dari sisi keharmonisan antaragama,” ungkap Dr Eddie Kusuma MA, selaku penanggung jawab seminar bertajuk Melestarikan Semangat (spirit) Gus Dur dalam Kebangsaan dan Multikulturalisme, di Jakarta, Kamis (6/1).

Seminar yang akan digelar di Hotel Borobudur, Jakarta ini akan dibuka Menteri Agama Suryadharma Ali, dan dihadiri istri almarhum Gus Dur, Shinta Nuriyah Wahid beserta putrinya, mantan Wakil Presiden Tri Sutrisno, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Sri Sultan Hamengku Buwono X, serta Ketua Umum Dewan Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Agil Siraj.

Kehadiran mereka untuk memberi kesaksian mengenai Gus Dur semasa hidupnya yang dinilai sebagai tokoh dan guru bangsa yang menghargai pluralisme dan multikulturalisme dengan semangat kebangsaan yang tinggi. Para pembicara adalah pakar dan tokoh rohaniawan dari tujuh agama di Indonesia, Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, Konghuchu dan Tao. Selain itu, akan hadir pembicara kunci yang juga merupakan sahabat Gus Dur, Master Chin Kung.

Pendeta Buddha dari Tradisi Mahayana ini dikenal sebagai sahabat dekat Gus Dur. Keduanya kerap melanglang buana dan berbicara mengenai pentingnya keharmonisan dan kerukunan serta toleransi antarumat beragama.

Menurut Prof Dr HM Nur Kholis Setiawan dari Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang terlibat di kepanitiaan seminar, diharapkan dari ajang ini para wakil tokoh agama akan turut berperan aktif memberikan penjelasan mengenai arti realitas multikultularisme kepada umatnya. “Diharapkan umat tidak gampang terprovokatif,” ungkapnya.

Gus Dur dikenal sebagai sosok yang mampu menjaga tali silaturahim dengan semua pihak tanpa memandang ras, agama atau golongan. Almarhum bukan hanya kiai yang hanya paham tentang ilmu agama, tetapi juga seorang yang rasional terhadap ilmu-ilmu sosial.

Gus Dur juga memiliki keberanian dalam mempertahankan apa yang dia yakini kebenarannya, meskipun harus berlawanan arus dengan banyak orang. Agama dipandang Gus Dur sebagai pemersatu ideologi nasional untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bukan untuk mendirikan negara agama. “Karenanya ke depan kita berharap lahirnya Gus Dur-Gus Dur yang baru,” ungkap Eddie.sumber sp.online [L-9]//kba-ajiinews.

Minggu, 26 Desember 2010

Senua Umat Beragama Dilindungi Oleh Negara Indonesia

Relevansi Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama

Oleh : H Abdul Kadir Karding


Dalam UUD 1945 Pasal 29 sangat tegas disebutkan bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Pasal ini merupakan bentuk perlindungan negara terhadap semua umat beragama di Indonesia.
Pasal tersebut juga merupakan bentuk peneguhan dan penegasan bahwa Negara Indonesia didirikan bukan atas dasar satu agama saja, tetapi memberikan kedudukan yang sama bagi semua agama yang berkembang di Indonesia. Konsepsi satu untuk semua merupakan kesepakatan bersama para pendiri bangsa dengan melihat realitas kemajemukan bangsa.
Sebagai bangsa yang majemuk pluralistis, tentunya Indonesia mempunyai potensi konflik yang sangat tinggi, terutama konflik antaragama. Konflik sesungguhnya merupakan sesuatu yang alami, konflik adalah sesuatu yang inheren, demikian juga dengan konflik agama. Konflik agama telah ada ketika agama-agama itu ada. Selama manusia tak mampu membebaskan diri dari stereotype negatif tentang agama lain, konflik agama akan terus ada.
Meski demikian, konflik itu sendiri sesungguhnya memiliki peluang dan ancaman di dalam dirinya. Karena itu, pengelolaan konflik secara cerdas dalam hal ini sangat dibutuhkan agar penyelesaian konflik membawa pada suatu kehidupan bersama yang lebih baik (peluang), bukannya malah mengorbankannya untuk kemudian meledak dalam bentuk kekerasan (ancaman). Jadi, hal yang utama bukanlah bagaimana meniadakan konflik, tapi bagaimana mengelola konflik tersebut secara benar melalui penggunaan saluran-saluran yang benar, agar tidak berujung pada kekerasan.
Tingginya kepercayaan antar umat beragama adalah syarat mutlak bagi hadirnya pengelolaan konflik agama yang cerdas yang memungkinkan agama-agama itu hidup rukun dan damai, karena penyelesaian konflik membutuhkan komunikasi, dan komunikasi dapat terjadi karena adanya rasa saling percaya.
Karena itu dalam rangka menciptakan kerukunan umat beragama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Bersama (Perber) dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.
Perber tersebut merupakan hasil kompromi dari berbagai pihak unsur agama yang ada di Indonesia. Namun demikian, masalah pembangunan rumah ibadah menjadi batu sandungan dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Sayangnya, Perber tersebut kurang tersosialisasi di tengah masyarakat, sehingga tidak banyak dijadikan pijakan dalam menjalin kerukunan beragama dan pendirian rumah ibadah.
Terjadinya kasus penusukan terhadap Asian Lumbantoruan Sihombing, penatua Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah (PTI), Mustika Jaya, Bekasi, yang dipicu oleh rencana pendirian gereja di kompleks yang warganya mayoritas beragama Islam, telah menjadi salah satu bukti bahwa peraturan tersebut memang belum tersosialisasi dengan baik di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, ada pihak-pihak yang memilih menggunakan cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah, meskipun hakikatnya justru semakin memperbesar masalah.
Kasus HKBP tersebut, dan kasus-kasus lain yang serupa, merupakan ancaman bagi persatuan bangsa, karena bisa membangkitkan konflik antaragama lebih luas. Karena itu, semua pihak hendaknya mau melakukan introspeksi diri dan mau menahan diri agar kasus seperti ini tidak merembet ke daerah-daerah lain.
Kehidupan beragama di Indonesia pada awalnya berjalan dengan mulus. Sejak kemerdekaan NKRI tahun 1945-1964 tidak ada insiden berarti dalam hubungan antar umat beragama. Insiden pengrusakan rumah ibadah (gereja) baru terjadi pada masa orde baru. Dan pada tahun 1985-1997 terjadi 237 kasus penutupan, pengrusakan dan pembakaran gereja, sekitar 63%.
Pada era orde lama maupun orde baru, konflik lebih disebabkan oleh ketidakpuasan sekelompok masyarakat terhadap pemerintah, berupa usaha-usaha untuk memisahkan diri dari negara kesatuan RI. Namun, pada masa reformasi panggung konflik di Indonesia beralih ke etnis dan agama yang berujung pada kekerasan sesungguhnya bukanlah warisan sejarah Indonesia.
Menyikapi berbagai kasus kerukunan umat beragama yang terjadi, mengakibatkan Perber dua menteri tersebut banyak mendapat sorotan. Ada pihak- pihak yang mengusulkan agar peraturan tersebut dipertahankan, direvisi, bahkan dicabut, karena dianggap sebagai pemicu terjadinya kasus-kasus yang memecah kerukunan umat beragama.
Ada juga yang menginginkan agar dibuat UU tentang Kerukunan Umat Beragama untuk mengatur kehidupan beragama, dan sekaligus untuk meredam konflik horisontal yang selama ini dipicu oleh ketentuan yang termaktub di dalam beberapa pasal Perber tersebut. Di samping itu, kalau menjadi UU diharapkan akan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ibadah.
Menurut hemat saya, munculnya penolakan pembangunan tempat ibadah HKBP di PTI, Bekasi, bukan semata-mata dipicu adanya Perber, tetapi kasus itu sudah terjadi cukup lama dan tidak dilakukan penyelesaian.
Pendirian rumah ibadah umat minoritas di tempat warga yang mayoritas, memang bisa menimbulkan banyak masalah, karena menyangkut sentimen dan fanatisme keagamaan yang mendalam. Karena itu, supaya tidak terjadi konflik sosial, pendirian rumah ibadah perlu diatur dengan mempertimbangkan aspek keadilan.
Melihat kompleksitas masalah antarumat ber- agama di Indonesia, tentu dibutuhkan payung hukum yang lebih kuat dalam bentuk UU tentang Kerukunan Umat Beragama. Di dalam UU tersebut bisa dimasukkan beberapa prinsip yang terdapat di dalam Perber dua menteri dengan berbagai penyempurnaan dan penambahan, guna lebih memberi jaminan hukum yang lebih kuat dalam mewujudkan kerukunan umat beragama.
Selain itu, di dalam UU tersebut juga bisa dibuat ketentuan tentang keharusan memasukkan materi kerukunan umat beragama dalam kurikulum pendidikan, dan pengaturan sanksi yang tegas atas pelanggaran dan penodaan terhadap kerukunan umat beragama.


Langkah-langkah Solutif
Menyadari bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk pluralistis, isu SARA akan terus menjadi bom waktu yang bisa meledak setiap saat, apabila ada letupan-letupan yang menjadi pemicu. Karena itu, hal terpenting yang harus dilakukan adalah membangun kesadaran di benak warga negara tentang arti pentingnya toleransi, sehingga masyarakat bisa menghargai perbedaan dan bisa menjadikannya sebagai suatu rahmah. Perbedaan menjadi kekuatan bukan menjadi alat perpecahan.
Kesadaran toleransi kehidupan beragama harus digalakkan oleh aparat penegak hukum, kepala daerah, tokoh-tokoh agama, kepala desa/perangkat desa, dan tokoh masyarakat, agar kita sebagai bangsa terbiasa hidup dalam kemajemukan. Sosialisasi tentang kerukunan umat beragama di daerah-daerah yang tingkat pluralitasnya tinggi, harus lebih digalakkan melalui dialog-dialog yang intensif. Sebab, daerah yang tingkat pluralitasnya tinggi, biasanya memiliki sumbu pendek yang mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, yang akan diuntungkan dengan terjadinya konflik atas nama agama.
Mengamati konflik agama yang terjadi yang berujung pada kekerasan di Indonesia, di sana terlihat bahwa tampaknya pemerintah sering kali mengambil posisi strategis, pemerintah dalam hal ini bisa dituduh melakukan kejahatan dengan membiarkan kekerasan berdasarkan agama (crime by omission). Pembiaran pemerintahlah yang menyebabkan konflik menyebar secara cepat. Malangnya, penyelesaian konflik di negeri ini tak pernah tuntas. Akibatnya, negeri yang dahulu terkenal dengan kerukunannya itu kini menjadi negeri yang rentan dengan konflik kekerasan yang amat memprihatinkan. Tepatlah apa yang dikatakan Robert W. Hefner bahwa kekerasan agama terjadi karena negara memanfaatkan agama (politisasi agama).
Konflik agama di Indonesia makin sulit dihindari karena terjadinya pengelompokkan berdasarkan agama. Pengelompokkan (clustering) berdasarkan agama ini menyebabkan timbulnya kesalahpahaman akan kepercayaan yang beragam tersebut, kesalahpahaman tersebut menyebabkan hubungan di masyarakat lebih rentan konflik, dan jika konflik pecah, sulit diselesaikan.
Aparat keamanan juga harus mengambil tindakan tegas terhadap pelaku-pelaku kriminalitas yang mengarah pada unsur SARA. Aparat keamanan harus bertindak proaktif sehingga bisa mengantisipasi terjadinya konflik sosial atas nama SARA. Penyelesaian masalah-masalah SARA yang muncul harus dilakukan secara cepat dan tegas, sehingga tidak memicu aksi-aksi serupa di daerah lain.
Dalam penanganan kasus-kasus tersebut, tentunya pemerintah tidak boleh berpihak pada pihak-pihak tertentu, agar tidak mencederai rasa keadilan. Lebih baik lagi langkah-langkah preventif harus didahulukan sehingga konflik SARA tidak muncul ke permukaan, karena kalau sampai muncul ke permukaan akan sangat sulit memadamkannya.
Keberadaan Forum Kerukunan Antar Umat (FKUB) yang dibentuk oleh kepala daerah harus dievaluasi. FKUB harus terus didorong untuk menjalankan tugasnya sebagaimana diamanatkan dalam Perber dua menteri, yaitu melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur/bupati/walikota, melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat, serta memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.
Dengan demikian, FKUB eksistensinya bukan hanya ada pada saat terjadi konflik yang mengatasnamakan agama, tetapi harus menjadi forum yang bersifat kontinyu, menjadi forum silaturahmi para tokoh agama, sekaligus menjadi ajang dialog lintas agama guna menemukan titik-titik persamaan pada aspek kebangsaan (ukhwah wathoniyah) dan kemanusiaan (ukhwah basyariyah).
Sedangkan ranah teologi yang sudah menjadi keyakinan masing-masing penganut ajaran agama, tidak perlu didialogkan lagi, karena hanya akan memunculkan klaim-klaim kebenaran dan menyulut terjadinya konflik antaragama.
Selain itu pula, misi perdamaian perlu digalakan. Pengalaman buruk dari kehadiran agama yang berwajah garang yang gemar menebar konflik kekerasan, tentu bukanlah peneguhan bahwa agama tidak patut berada di ruang publik. Apalagi pembelengguan agama-agama demi menumbuhkan toleransi untuk menciptakan kedamaian adalah suatu anomaly, karena di dalam agama-agama itu sendiri sesungguhnya terkandung semangat perdamaian.
Pembelengguan agama hanya akan menimbulkan “balas dendam” agama, meminjam istilah Gilles Kepel, yang terbaca jelas pada legitimasi kekerasan pada aksi terorisme, inilah yang menjadi persoalan besar bagi negara-negara sekuler, dan negara-negara bekas komunis yang sedang bingung menata hubungan antara agama dan negara.
Apabila umat beragama di negeri ini mampu bergaul dengan baik, dengan memperkembangkan tumbuhnya wadah-wadah bersama, wadah-wadah interkomunal, maka itu akan menjadi kekuatan yang ampuh untuk meredam setiap konflik agama yang muncul. Kemampuan mengelola konflik agama secara cerdas akan memungkinkan agama-agama di negeri ini memberikan kontribusi sebesar-besarnya bagi pembangunan bangsa Indonesia yang damai dan sejahtera. Ini adalah misi semua agama-agama di Indonesia.



Konflik Agama

Itulah sebabnya pada peringatan hari jadi Singapura, Minggu (2/8), dalam pidato bertajuk tantangan masa depan Singapura, Menteri Senior Goh Chok Tong mengingatkan agar Singapura mewaspadai potensi bahaya yang meningkat dengan semakin religiusnya warga Singapura. Menurutnya, semakin religious seseorang akan membuat orang membentuk kelompok hanya dengan pemilik kepercayaan yang sama, yang kemudian bermuara pada pembagian kelompok-kelompok berdasarkan agama. Ini akan emnyebabkan timbulnya kesalahpahaman akibat kurangnya pemahaman akan kepercayaan yang beragam tersebut, kesalahpahaman tersebut bisa menimbulkan konflik agama.

Jumat, 24 Desember 2010

Kedamaian Adalah Menuju Kebenaran

Kantor berita “ajiinews”menyampaikan Selamat Hari Natal

Indramayu,”ajiinews”Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi/Penanggung jawab Redaksi kantor berita “ajiinews” Raskhanna S Depari,menuju kebenaran,menyampaikan selamat menyambut hari Natal Kamis 25 Desember 2010 kepada seluruh umat Agama Nasrani.Dengan hati nurani yang tulus,kami juga menyadari dalam menjalankan kinerja propesi Jurnalistik tidak luput dari keilafan,dalam Kesucian Natal ini mari kita saling berjabat tangan dan saling memaafkan semoga yang kuasa mengampuni kesalahan,diberikan kesehatan dan rizki pada kita semua.Segenap relasi pengunjung dan pembaca setia “ajiinews” di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maupun di Luar Negeri,tidak lupa kami mengucapkan rasa terima kasih .Salam Redaksi ajiinews.(kba-red)