Relevansi Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama
Oleh : H Abdul Kadir Karding
Dalam UUD 1945 Pasal 29 sangat tegas disebutkan bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Pasal ini merupakan bentuk perlindungan negara terhadap semua umat beragama di Indonesia.
Pasal tersebut juga merupakan bentuk peneguhan dan penegasan bahwa Negara Indonesia didirikan bukan atas dasar satu agama saja, tetapi memberikan kedudukan yang sama bagi semua agama yang berkembang di Indonesia. Konsepsi satu untuk semua merupakan kesepakatan bersama para pendiri bangsa dengan melihat realitas kemajemukan bangsa.
Sebagai bangsa yang majemuk pluralistis, tentunya Indonesia mempunyai potensi konflik yang sangat tinggi, terutama konflik antaragama. Konflik sesungguhnya merupakan sesuatu yang alami, konflik adalah sesuatu yang inheren, demikian juga dengan konflik agama. Konflik agama telah ada ketika agama-agama itu ada. Selama manusia tak mampu membebaskan diri dari stereotype negatif tentang agama lain, konflik agama akan terus ada.
Meski demikian, konflik itu sendiri sesungguhnya memiliki peluang dan ancaman di dalam dirinya. Karena itu, pengelolaan konflik secara cerdas dalam hal ini sangat dibutuhkan agar penyelesaian konflik membawa pada suatu kehidupan bersama yang lebih baik (peluang), bukannya malah mengorbankannya untuk kemudian meledak dalam bentuk kekerasan (ancaman). Jadi, hal yang utama bukanlah bagaimana meniadakan konflik, tapi bagaimana mengelola konflik tersebut secara benar melalui penggunaan saluran-saluran yang benar, agar tidak berujung pada kekerasan.
Tingginya kepercayaan antar umat beragama adalah syarat mutlak bagi hadirnya pengelolaan konflik agama yang cerdas yang memungkinkan agama-agama itu hidup rukun dan damai, karena penyelesaian konflik membutuhkan komunikasi, dan komunikasi dapat terjadi karena adanya rasa saling percaya.
Karena itu dalam rangka menciptakan kerukunan umat beragama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Bersama (Perber) dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.
Perber tersebut merupakan hasil kompromi dari berbagai pihak unsur agama yang ada di Indonesia. Namun demikian, masalah pembangunan rumah ibadah menjadi batu sandungan dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Sayangnya, Perber tersebut kurang tersosialisasi di tengah masyarakat, sehingga tidak banyak dijadikan pijakan dalam menjalin kerukunan beragama dan pendirian rumah ibadah.
Terjadinya kasus penusukan terhadap Asian Lumbantoruan Sihombing, penatua Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah (PTI), Mustika Jaya, Bekasi, yang dipicu oleh rencana pendirian gereja di kompleks yang warganya mayoritas beragama Islam, telah menjadi salah satu bukti bahwa peraturan tersebut memang belum tersosialisasi dengan baik di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, ada pihak-pihak yang memilih menggunakan cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah, meskipun hakikatnya justru semakin memperbesar masalah.
Kasus HKBP tersebut, dan kasus-kasus lain yang serupa, merupakan ancaman bagi persatuan bangsa, karena bisa membangkitkan konflik antaragama lebih luas. Karena itu, semua pihak hendaknya mau melakukan introspeksi diri dan mau menahan diri agar kasus seperti ini tidak merembet ke daerah-daerah lain.
Kehidupan beragama di Indonesia pada awalnya berjalan dengan mulus. Sejak kemerdekaan NKRI tahun 1945-1964 tidak ada insiden berarti dalam hubungan antar umat beragama. Insiden pengrusakan rumah ibadah (gereja) baru terjadi pada masa orde baru. Dan pada tahun 1985-1997 terjadi 237 kasus penutupan, pengrusakan dan pembakaran gereja, sekitar 63%.
Pada era orde lama maupun orde baru, konflik lebih disebabkan oleh ketidakpuasan sekelompok masyarakat terhadap pemerintah, berupa usaha-usaha untuk memisahkan diri dari negara kesatuan RI. Namun, pada masa reformasi panggung konflik di Indonesia beralih ke etnis dan agama yang berujung pada kekerasan sesungguhnya bukanlah warisan sejarah Indonesia.
Menyikapi berbagai kasus kerukunan umat beragama yang terjadi, mengakibatkan Perber dua menteri tersebut banyak mendapat sorotan. Ada pihak- pihak yang mengusulkan agar peraturan tersebut dipertahankan, direvisi, bahkan dicabut, karena dianggap sebagai pemicu terjadinya kasus-kasus yang memecah kerukunan umat beragama.
Ada juga yang menginginkan agar dibuat UU tentang Kerukunan Umat Beragama untuk mengatur kehidupan beragama, dan sekaligus untuk meredam konflik horisontal yang selama ini dipicu oleh ketentuan yang termaktub di dalam beberapa pasal Perber tersebut. Di samping itu, kalau menjadi UU diharapkan akan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ibadah.
Menurut hemat saya, munculnya penolakan pembangunan tempat ibadah HKBP di PTI, Bekasi, bukan semata-mata dipicu adanya Perber, tetapi kasus itu sudah terjadi cukup lama dan tidak dilakukan penyelesaian.
Pendirian rumah ibadah umat minoritas di tempat warga yang mayoritas, memang bisa menimbulkan banyak masalah, karena menyangkut sentimen dan fanatisme keagamaan yang mendalam. Karena itu, supaya tidak terjadi konflik sosial, pendirian rumah ibadah perlu diatur dengan mempertimbangkan aspek keadilan.
Melihat kompleksitas masalah antarumat ber- agama di Indonesia, tentu dibutuhkan payung hukum yang lebih kuat dalam bentuk UU tentang Kerukunan Umat Beragama. Di dalam UU tersebut bisa dimasukkan beberapa prinsip yang terdapat di dalam Perber dua menteri dengan berbagai penyempurnaan dan penambahan, guna lebih memberi jaminan hukum yang lebih kuat dalam mewujudkan kerukunan umat beragama.
Selain itu, di dalam UU tersebut juga bisa dibuat ketentuan tentang keharusan memasukkan materi kerukunan umat beragama dalam kurikulum pendidikan, dan pengaturan sanksi yang tegas atas pelanggaran dan penodaan terhadap kerukunan umat beragama.
Langkah-langkah Solutif
Menyadari bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk pluralistis, isu SARA akan terus menjadi bom waktu yang bisa meledak setiap saat, apabila ada letupan-letupan yang menjadi pemicu. Karena itu, hal terpenting yang harus dilakukan adalah membangun kesadaran di benak warga negara tentang arti pentingnya toleransi, sehingga masyarakat bisa menghargai perbedaan dan bisa menjadikannya sebagai suatu rahmah. Perbedaan menjadi kekuatan bukan menjadi alat perpecahan.
Kesadaran toleransi kehidupan beragama harus digalakkan oleh aparat penegak hukum, kepala daerah, tokoh-tokoh agama, kepala desa/perangkat desa, dan tokoh masyarakat, agar kita sebagai bangsa terbiasa hidup dalam kemajemukan. Sosialisasi tentang kerukunan umat beragama di daerah-daerah yang tingkat pluralitasnya tinggi, harus lebih digalakkan melalui dialog-dialog yang intensif. Sebab, daerah yang tingkat pluralitasnya tinggi, biasanya memiliki sumbu pendek yang mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, yang akan diuntungkan dengan terjadinya konflik atas nama agama.
Mengamati konflik agama yang terjadi yang berujung pada kekerasan di Indonesia, di sana terlihat bahwa tampaknya pemerintah sering kali mengambil posisi strategis, pemerintah dalam hal ini bisa dituduh melakukan kejahatan dengan membiarkan kekerasan berdasarkan agama (crime by omission). Pembiaran pemerintahlah yang menyebabkan konflik menyebar secara cepat. Malangnya, penyelesaian konflik di negeri ini tak pernah tuntas. Akibatnya, negeri yang dahulu terkenal dengan kerukunannya itu kini menjadi negeri yang rentan dengan konflik kekerasan yang amat memprihatinkan. Tepatlah apa yang dikatakan Robert W. Hefner bahwa kekerasan agama terjadi karena negara memanfaatkan agama (politisasi agama).
Konflik agama di Indonesia makin sulit dihindari karena terjadinya pengelompokkan berdasarkan agama. Pengelompokkan (clustering) berdasarkan agama ini menyebabkan timbulnya kesalahpahaman akan kepercayaan yang beragam tersebut, kesalahpahaman tersebut menyebabkan hubungan di masyarakat lebih rentan konflik, dan jika konflik pecah, sulit diselesaikan.
Aparat keamanan juga harus mengambil tindakan tegas terhadap pelaku-pelaku kriminalitas yang mengarah pada unsur SARA. Aparat keamanan harus bertindak proaktif sehingga bisa mengantisipasi terjadinya konflik sosial atas nama SARA. Penyelesaian masalah-masalah SARA yang muncul harus dilakukan secara cepat dan tegas, sehingga tidak memicu aksi-aksi serupa di daerah lain.
Dalam penanganan kasus-kasus tersebut, tentunya pemerintah tidak boleh berpihak pada pihak-pihak tertentu, agar tidak mencederai rasa keadilan. Lebih baik lagi langkah-langkah preventif harus didahulukan sehingga konflik SARA tidak muncul ke permukaan, karena kalau sampai muncul ke permukaan akan sangat sulit memadamkannya.
Keberadaan Forum Kerukunan Antar Umat (FKUB) yang dibentuk oleh kepala daerah harus dievaluasi. FKUB harus terus didorong untuk menjalankan tugasnya sebagaimana diamanatkan dalam Perber dua menteri, yaitu melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur/bupati/walikota, melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat, serta memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.
Dengan demikian, FKUB eksistensinya bukan hanya ada pada saat terjadi konflik yang mengatasnamakan agama, tetapi harus menjadi forum yang bersifat kontinyu, menjadi forum silaturahmi para tokoh agama, sekaligus menjadi ajang dialog lintas agama guna menemukan titik-titik persamaan pada aspek kebangsaan (ukhwah wathoniyah) dan kemanusiaan (ukhwah basyariyah).
Sedangkan ranah teologi yang sudah menjadi keyakinan masing-masing penganut ajaran agama, tidak perlu didialogkan lagi, karena hanya akan memunculkan klaim-klaim kebenaran dan menyulut terjadinya konflik antaragama.
Selain itu pula, misi perdamaian perlu digalakan. Pengalaman buruk dari kehadiran agama yang berwajah garang yang gemar menebar konflik kekerasan, tentu bukanlah peneguhan bahwa agama tidak patut berada di ruang publik. Apalagi pembelengguan agama-agama demi menumbuhkan toleransi untuk menciptakan kedamaian adalah suatu anomaly, karena di dalam agama-agama itu sendiri sesungguhnya terkandung semangat perdamaian.
Pembelengguan agama hanya akan menimbulkan “balas dendam” agama, meminjam istilah Gilles Kepel, yang terbaca jelas pada legitimasi kekerasan pada aksi terorisme, inilah yang menjadi persoalan besar bagi negara-negara sekuler, dan negara-negara bekas komunis yang sedang bingung menata hubungan antara agama dan negara.
Apabila umat beragama di negeri ini mampu bergaul dengan baik, dengan memperkembangkan tumbuhnya wadah-wadah bersama, wadah-wadah interkomunal, maka itu akan menjadi kekuatan yang ampuh untuk meredam setiap konflik agama yang muncul. Kemampuan mengelola konflik agama secara cerdas akan memungkinkan agama-agama di negeri ini memberikan kontribusi sebesar-besarnya bagi pembangunan bangsa Indonesia yang damai dan sejahtera. Ini adalah misi semua agama-agama di Indonesia.
Konflik Agama
Itulah sebabnya pada peringatan hari jadi Singapura, Minggu (2/8), dalam pidato bertajuk tantangan masa depan Singapura, Menteri Senior Goh Chok Tong mengingatkan agar Singapura mewaspadai potensi bahaya yang meningkat dengan semakin religiusnya warga Singapura. Menurutnya, semakin religious seseorang akan membuat orang membentuk kelompok hanya dengan pemilik kepercayaan yang sama, yang kemudian bermuara pada pembagian kelompok-kelompok berdasarkan agama. Ini akan emnyebabkan timbulnya kesalahpahaman akibat kurangnya pemahaman akan kepercayaan yang beragam tersebut, kesalahpahaman tersebut bisa menimbulkan konflik agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar