Rabu, 25 Mei 2011

Pemerintah RI Harus Tegas Konfik Antarumat Agama Semakin Meningkat

Jika Tigak Tegas Cukup Membahayakan Perpecahan Antar Umat




Jakarta, "kba.ajiinews"


Tahun 2010 Ada 28 Pengrusakan Tempat Ibadah

Sepanjang 2008-2010, konflik antarumat beragama trennya terus meningkat. Jika didiamkan, dikhawatirkan akan meluas menjadi kerusuhan.

Toleransi antarumat ber­aga­ma belakangan mulai sedikit lun­tur. Berdasarkan data yang dite­rima Rakyat Merdeka dari SETARA Institute, angka pengru­sa­kan rumah ibadah dan tindak anarkis antarumat beragama meningkat.

Sepanjang 2008 tercatat 17 peristiwa konflik antarumat ber­aga­ma yang terjadi. Jumlah ter­se­but meningkat pada 2009 menjadi 18 kasus, dan kini baru perte­nga­han 2010 saja tercatat sudah 28 kasus pengrusakan tempat iba­dah dan tindakan anarkis ter­hadap umat beragama.
“Melihat angka-angka ini kita sangat prihatin. Bayangkan ini baru pertengahan tahun sudah 28 kasus konflik antarumat ber­aga­ma,” kata Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naispospos kepadaRakyat Merdeka.

Dari 28 kasus konflik antar­umat beragama yang terjadi sepanjang 2010, dijelaskan Tigor, paling banyak terjadi pada Januari dan Februari.

Dari berbagai tindak kekerasan yang terjadi, kebanyakan berupa penyegelan dan penolakan pem­bangunan rumah ibadah dengan alasan keberadaan rumah ibadah tersebut, mengganggu dan meresahkan masyarakat.

Argumentasi tak mengantongi izin pembangunan dan tidak sesuai dengan tata ruang yang dilontarkan aparat pemerintah, juga ikut melatari aksi penolakan dan penyegelan pembangunan rumah ibadah.

Anehnya, deret panjang catatan kasus tersebut tak menggedor perhatian pemerintah sama se­kali. Hingga kini, menurut Tigor, Presiden SBY tak pernah meng­ingatkan atau ber­ko­men­tar tentang kasus kekerasan yang menimpa umat beragama.

“SBY cuma malu ketika kasus video porno artis disorot media luar negeri, tapi kenapa masalah ini nggak? Padahal kasus ini banyak juga disorot oleh media lokal dan asing. Jadinya, hal ini seperti tragedi moral bangsa,” imbuhnya.

Lebih lanjut Tigor mengatakan, kemungkinan ada tiga alasan mengapa Presiden belum memberi perhatian ter­ha­dap kasus tersebut. Pertama, mung­kin saja pemerintah mem­pertim­bangkan faktor pencitraan.

Kedua, Presiden memper­tim­bangkan kasus tersebut jika diangkat bisa menggoyang du­kungan politik terhadapnya. Dan mungkin saja, Presiden ingin berhati-hati.

“Jadi sekarang kita tunggu saja, sikap negarawan Presiden di masa pemerinta­han­nya yang terakhir, apakah dia mau dikenang sebagai orang yang memelihara keberagaman, atau tidak,” tandasnya.

Di tempat terpisah, Ketua Subkomisi Pengkajian dan Penilitian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Baso, menggugat peran kepolisian dalam meredam aksi anarkis antarumat beragama.

“Dalam memberantas teroris Polri terlihat sangat sigap. Tapi kalau menyangkut kasus anar­kis­me umat beragama, peneggakkan hu­kum yang mereka lakukan ma­sih sangat kurang,” ujar Ahmad Baso.

Ahmad Baso menjelaskan, berdasarkan pantauan Komnas HAM di beberapa titik rusuh agama, polisi terlihat seperti membiarkan aksi anarkisme terhadap umat beragama.

“Memang di beberapa titik belum sampai terjadi kekerasan fisik, tapi itu kan salah satu bentuk intimidasi”, tambahnya.

Jika polisi tak lekas bertindak, lanjut Ahmad Baso, bukan tidak mungkin nanti kepolisian nanti bisa dituding terlibat kasus pelang­garan HAM. Sebab, ber­dasarkan undang-undang, negara menjamin kebe­basan rakyat untuk menjalankan keyakinannya.

Gara-gara Aturan Main Umat Beragama Rusuh

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ichwan Sam menilai, rusuh umat ber­aga­ma juga disebabkan karena atu­ran main tentang pembangunan rumah ibadah tak dipenuhi umat beragama.

Sebenarnya, dijelaskan Ichwan Syam, ada ketentuan yang meng­atur syarat apa saja yang wajib dipenuhi sebelum membangun rumah ibadah.

“Misalnya nggak boleh mem­bangun masjid atau gereja jika di wilayah tersebut nggak ada je­maahnya, atau sangat sedikit umatnya. Jadi dengan begitu nggak bisa seenaknya saja mem­bangun rumah ibadah,” kata Ichwan.

Kendati begitu, Ichwan tetap mengecam setiap tindak keke­rasan yang mengatasnamakan agama. Setiap umat bergama ha­rus toleran. “Jangan sampai ada provokator-provokator yang senangnya menyulut konflik antar umat beragama.”

Ketua Umum Persekutuan Gereja Indonesia, Andreas Yewangoe menilai rusuh perusa­kan dan penyegelan rumah ibadah sepenuhnya merupakan kesalahan pemerintah.

“Negara harusnya melindungi jika ada ketegangan dalam masyarakat, karena ini merupakan kewajiban konstitusi,” katanya.

Jika konflik ini terus didiamkan, umat beragama akan merasakan hak kebeberasan untuk memeluk dan beribadah tercerabut.

Lantas bagaimana tanggapan kepolisian sebagai institusi yang bertugas mengayomi masyarakat? Kepala Bidang Penerangan Umum (Kabidpenum) Mabes Polri, Komisaris Besar Marwoto Soeto menyangkal tudingan jika polisi dianggap diam saat menangani konflik antarumat beragama.

Marwoto bilang, polisi tidak pernah membiarkan tindak keke­rasan. Polri selalu berkoordinasi de­ngan pihak lain untuk mengeliminir terjadinya tindak kekerasan.

“Kita kan menginginkan masyarakat yang damai. Jadi kita pasti berusaha melindungi semua pihak”, katanya.

Selain itu, Polri juga selalu mengedepankan pendekatan persuasif dengan memfasilitasi pertemuan antarkedua pihak yang bertikai, untuk meminimalisir tindak kekerasan.

“Tapi kalau pihak yang kita ajak berbicara tetap bersikeras, kita akan mengambil tindakan represif dan seterusnya”, ujarnya lagi.

Polisi juga mengutuk tindak kekerasan dengan mengatas­nama­kan agama. Menurut dia, agama tak pernah mengajarkan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.

Kalau Dibiarkan Nanti Bisa Merembet
Kepercayaan Terhadap Pemerintah Anjlok

Pengamat politik Univer­sitas Islam Negeri Syarief Hi­daya­tullah, Andi Syafrani punya pendapat sendiri. Menurut dia, kon­flik keagamaan yang me­rebak lagi baru-baru ini dipicu oleh anjloknya ketidak­per­cayaan publik terhadap pemerintah.

“Di sisi lain, tingkat keyaki­nan beragama dari beberapa pihak justru meningkat, inilah yang memicu. Hal itu diper­parah dengan buruknya pela­yanan kemanan yang diberikan oleh pemerintah,” ungkap Andi.

Andi menyarankan Presiden SBY secepatnya menyi­kapi rentetan persitiwa keke­rasan tersebut dan meramu ke­bijakan yang efektif agar tidak meluas. “Jangan tempatkan kasus tersebut di urutan ke 100.”

Sosiolog Universitas Indo­nesia, Paulus Wirutomo me­nga­takan, konflik antar golo­ngan sangat mungkin terjadi di negeri yang pluralis seperti Indonesia.

Namun yang terpenting konflik tersebut tidak diwarnai dengan tindak kekerasan. “Karena apapun alasannya, kekerasan yang berbau agama harus dihin­dari. Negara ini negara hukum, maka jangan pernah bertindak sendiri,” katanya.

Konstitusi, lanjut Paulus, memberi jaminan kepada setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut agama kepercayaannya.

Jadi, jelas Paulus, perilaku kelompok tertentu yang brutal, anarkis dan memaksakan agama tak bisa disebut sebagai karakter bangsa.

“Pemerintah harus selalu menjadi penengah dengan menindak tegas para pelaku konflik,” tandasnya.

Anggota Komisi Hukum DPR, Eddy Ramli Sitanggang berha­rap pemerintah secepat­nya mengambil langkah tegas ter­hadap persoalan ini.

“Isu agama kalau dibiarkan bisa meluas dan jadi gawat. Awal­nya mungkin hanya kon­flik perorangan, tapi kalu dibiarkan akan melibatkan banyak orang,” tambah anggota Fraksi Partai Demokrat ini.

Untuk mencegah meluasnya konflik, dijelaskan Eddy, peme­rintah bisa menempuh langkah per­suasif melalui Kementerian Agama. “Kalau bisa berkoor­dinasi dengan baik, saya rasa tingkat Polsek saja sudah dapat mere­dam masalah tersebut,” tambahnya.sumber rakyat merdeka [RM]-//kba,ajiinews//galang//

Tidak ada komentar:

Posting Komentar