Jakarta,kba
ajiinews
Fenomena relawan dalam pemilihan presiden
sebenarnya adalah hal yang lumrah di negara-negara yang praktik demokrasinya
sudah mapan. Namun, dalam konteks Indonesia, fenomena relawan dalam pemilihan
presiden kemarin memang seperti menjadi hal yang baru. Gairah publik yang
bergerak sendiri bisa MENjadi human capital bagi penguatan demokrasi di
Indonesia.
Demikian dikatakan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat, saat menjadi pembicara dalam acara diskusi dan bedah buku Berpolitik Tanpa Partai karya Kristin Samah dan Fransis Ria Susanti yang digelar di Balai Sarwono, Jakarta Selatan, Kamis (12/2). Menurut Meidyatama, fenomena relawan yang ikut berpartisipasi dalam sebuah kontestasi politik di negara maju sudah lumrah.
“Di Amerika Serikat, misalnya, aktivisme politik masyarakat sudah lumrah. Mereka adalah para volunteer, biasanya anak-anak muda yang masih idealis, berlatar belakang pendidikan tinggi punya keterikatan dengan daerah pemilihannya ya ada juga orang yang agak pengangguran. Aktivisme mereka tak sekadar memobilisasi massa, tapi juga bergerak door to door, aktif menelepon dan menggalang dana,” katanya.
Setidaknya kata Meidyatama, ada dua hal yang sangat penting dari sebuah kontestasi politik semacam pemilihan presiden. Pertama terkait dengan uang. Dalam hal ini, bagaimana partai mengumpulkan dana. Di Amerika, dana politik mengandalkan donasi. Kedua, human capital bernama relawan. Jadi dua hal ini normal dalam demokrasi. Namun memang peran dan kiprah relawan bisa menguatkan demokrasi.
“Relawan bisa membuat demokrasi lebih kuat,” kata dia.
Saat ditanya moderator, apakah mungkin berpolitik tanpa partai? Meidyatama menjawab, ia salah satu orang yang tak percaya bisa berpolitik tanpa. Partai di Indonesia, bagaimana pun buruknya, adalah kekuatan politik riil. Karena itu ia berharap, partai bisa memainkan perannya dengan baik, sehingga proses chek and balances bisa terbangun. Partai Gerindra misalnya, karena berada di luar pemerintahan, bisa memainkan peran sebagai oposisi yang loyal. Karena menurutnya untuk menciptakan chek and balances, harus ada yang jadi oposisi yang loyal.
Tapi Meidyatama tak berharap relawan ikut berpolitik praktis. Justru bila relawan masuk dalam sistem, lalu terlibat dalam politik praktis akan berbahaya. Bila relawan misalnya jadi kelompok yang bisa mempengaruhi kebijakan, ia khawatir akan jadi pembisik politik.
Bentuk Kegelisahan
Pembicara lainnya, Ketua Umum DPP Projo (Pro Jokowi) Budi Arie Setiadi, mengatakan bahwa relawan Jokowi, khusus Projo terbentuk dari sebuah kegelisahan melihat konstelasi politik menjelang suksesi kepemimpinan yang masih didominasi figur-figur lama.
Karena itu kemudian para aktivis yang dulu berhimpun dalam wadah ProMeg (Pro Mega) memutuskan untuk mencari sosok alternatif yang bisa membawa perubahan. Pilihan pun jatuh pada mantan Wali Kota Solo yang saat itu jadi Gubernur Jakarta, Jokowi.
“ Saat itu kita minta Jokowi maju. Tapi jawaban Jokowi tetap, ia akan maju bila di calonkan oleh PDIP. Maka, mulailah kita bergerilya ke seluruh Indonesia, hingga Jokowi dicalonkan PDIP dan terpilih jadi Presiden,” katanyasumber “Koran Jakarta “.(ags/AR-3)
Demikian dikatakan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat, saat menjadi pembicara dalam acara diskusi dan bedah buku Berpolitik Tanpa Partai karya Kristin Samah dan Fransis Ria Susanti yang digelar di Balai Sarwono, Jakarta Selatan, Kamis (12/2). Menurut Meidyatama, fenomena relawan yang ikut berpartisipasi dalam sebuah kontestasi politik di negara maju sudah lumrah.
“Di Amerika Serikat, misalnya, aktivisme politik masyarakat sudah lumrah. Mereka adalah para volunteer, biasanya anak-anak muda yang masih idealis, berlatar belakang pendidikan tinggi punya keterikatan dengan daerah pemilihannya ya ada juga orang yang agak pengangguran. Aktivisme mereka tak sekadar memobilisasi massa, tapi juga bergerak door to door, aktif menelepon dan menggalang dana,” katanya.
Setidaknya kata Meidyatama, ada dua hal yang sangat penting dari sebuah kontestasi politik semacam pemilihan presiden. Pertama terkait dengan uang. Dalam hal ini, bagaimana partai mengumpulkan dana. Di Amerika, dana politik mengandalkan donasi. Kedua, human capital bernama relawan. Jadi dua hal ini normal dalam demokrasi. Namun memang peran dan kiprah relawan bisa menguatkan demokrasi.
“Relawan bisa membuat demokrasi lebih kuat,” kata dia.
Saat ditanya moderator, apakah mungkin berpolitik tanpa partai? Meidyatama menjawab, ia salah satu orang yang tak percaya bisa berpolitik tanpa. Partai di Indonesia, bagaimana pun buruknya, adalah kekuatan politik riil. Karena itu ia berharap, partai bisa memainkan perannya dengan baik, sehingga proses chek and balances bisa terbangun. Partai Gerindra misalnya, karena berada di luar pemerintahan, bisa memainkan peran sebagai oposisi yang loyal. Karena menurutnya untuk menciptakan chek and balances, harus ada yang jadi oposisi yang loyal.
Tapi Meidyatama tak berharap relawan ikut berpolitik praktis. Justru bila relawan masuk dalam sistem, lalu terlibat dalam politik praktis akan berbahaya. Bila relawan misalnya jadi kelompok yang bisa mempengaruhi kebijakan, ia khawatir akan jadi pembisik politik.
Bentuk Kegelisahan
Pembicara lainnya, Ketua Umum DPP Projo (Pro Jokowi) Budi Arie Setiadi, mengatakan bahwa relawan Jokowi, khusus Projo terbentuk dari sebuah kegelisahan melihat konstelasi politik menjelang suksesi kepemimpinan yang masih didominasi figur-figur lama.
Karena itu kemudian para aktivis yang dulu berhimpun dalam wadah ProMeg (Pro Mega) memutuskan untuk mencari sosok alternatif yang bisa membawa perubahan. Pilihan pun jatuh pada mantan Wali Kota Solo yang saat itu jadi Gubernur Jakarta, Jokowi.
“ Saat itu kita minta Jokowi maju. Tapi jawaban Jokowi tetap, ia akan maju bila di calonkan oleh PDIP. Maka, mulailah kita bergerilya ke seluruh Indonesia, hingga Jokowi dicalonkan PDIP dan terpilih jadi Presiden,” katanyasumber “Koran Jakarta “.(ags/AR-3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar