MA: Hakim Harus Hati-hati
Prita Jadi Perhatian Internasional
Sabtu, 6 Juni 2009 | 03:02 WIB
Imbauan itu disampaikan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Abdul Kadir Mappong, Jumat (5/6) di Jakarta, dalam kaitan kasus Prita Mulyasari. Prita didakwa melanggar Pasal 27 juncto Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Pasal 310 jo 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Semuanya terkait persoalan pencemaran nama baik.
Menurut Mappong, penerapan pasal pencemaran nama baik memang harus dilakukan dengan hati-hati. Hakim diminta tidak menganggap mudah adanya penghinaan dalam suatu tindakan tertentu.
Kehati-hatian yang sama juga harus dilakukan dalam penerapan Pasal 27 UU ITE. ”Itu, kan, merupakan kasus baru dalam perundangan kita. Ada undang-undang lain yang dipertimbangkan dalam masalah itu, seperti boleh saja mengeluarkan pendapat seperti itu. Kan ada UU lain yang tidak memberi larangan memberikan pendapat begitu. Kan itu ada kaitannya dengan hak asasi,” ujar Mappong.
Meskipun demikian, Mappong menjelaskan, MA tidak akan memberikan petunjuk apa pun terkait penerapan Pasal 27. MA akan menyerahkan kepada hakim yang menanganinya di PN Tangerang. ”Kami tidak boleh mengintervensi,” ujarnya.
Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal (Pol) Sulistyo Ishak mengatakan, saat polisi menerima laporan pencemaran nama baik, sepatutnya diperiksa juga isi materi pokok yang dituduhkan. Artinya, apakah hal yang dianggap mencemarkan itu mengandung kebenaran atau tidak.
Apabila memang materi yang dianggap mencemarkan itu mengandung kebenaran, hal itu tidak bisa dianggap mencemarkan, sehingga tidak memenuhi unsur pidana.
Dengan demikian, tambah Sulistyo, polisi mungkin saja tidak melanjutkan penyelidikan atau penyidikan laporan pencemaran nama baik tersebut. ”Kalau tidak ada unsur pidananya, kan, bisa dihentikan,” kata Sulistyo.
Penyidik, tambah Sulistyo, harus bersikap netral dalam menerima laporan pencemaran nama baik. Ketika polisi menerima laporan perkara pencemaran nama baik, tidak berarti polisi tersebut berpihak kepada pelapor. Namun, polisi juga harus menelisik apakah memang betul ada unsur pencemaran seperti yang dituduhkan pihak pelapor.
Desakan pembebasan Prita sepenuhnya dari jeratan hukum masih terus bergulir deras di internet, khususnya jejaring sosial Facebook. Hingga pukul 23.15 kemarin, cause di Facebook yang mendesak pembebasan Prita dari jeratan hukum telah didukung oleh 182.452 orang.
Halaman isu atau cause yang dibuat oleh pengguna Facebook, yaitu Ika Ardina dan juga dikelola oleh pengguna Facebook lainnya, Enda Nasution, Agus Hamonangan, Wenny Trisvianne, dan Mariana Amiruddin. Selain cause tersebut, masih ada sembilan cause lain di Facebook yang berisi dukungan terhadap Prita.
Dalam cause berjudul ”Dukungan Bagi Ibu Prita Mulyasari, Penulis Surat Keluhan Melalui Internet yang Ditahan” dituliskan RS Omni Internasional hendaknya memberikan hak jawab, bukan melakukan tuntutan perdata dan pidana atas keluhan yang dimuat di surat pembaca ataupun mailing list.
Selain desakan pembebasan Prita dari berbagai jeratan hukum terus mencuat di internet, berbagai slogan terkait kasus Prita juga merebak.
Poster-poster virtual itu berisi kekhawatiran tersumbatnya hak konsumen untuk memprotes atau berpendapat.
Perkara yang menimpa Prita juga mendapat perhatian media-media asing. Situs Straitstimes.com dari Singapura, misalnya, memasang judul ”Charged for E-mail Complaint” dan memajang foto Prita yang tengah berbusana hitam berukuran cukup besar. Berita yang dimuat situs tersebut diambil dari kantor berita Perancis AFP.
Sebuah situs berita asal Afrika Selatan, yaitu www.news24.com, menulis kasus Prita dengan judul ”E-mail May Lead to Jail”. Sementara, Australian Associated Press (AAP) dalam beritanya mengenai kasus Prita memasang judul ”Indonesian Woman Faces Jail over Email Complaint”. Situs BBC juga tak ketinggalan memberitakan perkara Prita dengan judul ”Indonesia E-mail Case Sparks Fury”.
Sementara itu, dalam siaran persnya, Hendardi dari Setara Institute for Democracy and Peace menyatakan, kasus yang menimpa Prita Mulyasari telah mengoyak kemanusiaan, kebebasan berpendapat, dan menebar ancaman serupa di masa mendatang.
Kasus Prita "Versus" Akhlak Dokter
Kompas, Sabtu, 6 Juni 2009 | 03:10 WIB
Penilaian dan sikap pengendalian masyarakat pasien sebagai sistem kontrol yang efektif terhadap eloknya layanan medis. (Telaah Kisch & Reeder)
Tanpa melacak apa di balik kasus itu, kasus Prita masih akan terus menjadi endemis. Anggapan bahwa ”dokter selalu benar, pasien pasti salah” atau ”mana mungkin pasien salah, dokter pasti salah” perlu dilempangkan.
Dokter dan rumah sakit bukan pihak yang
Bukan sikap kesengajaan profesi dokter kalau muncul kasus. Bukan karena semua dokter ingin melompati ”pagar” yang disepakati. Lebih sering, ada yang lebih kuat dari hanya hukum dan regulasi jika praktik dokter tampil tak elok di mata pasien.
Ada dua hal yang membuat kinerja profesi dokter tidak
Soal komunikasi, harus diakui, opini pasien ihwal penyakitnya belum tentu sama dengan opini medis. Makin terbatas wawasan medis pasien, makin banyak yang perlu dokter komunikasikan. Salah sangka pasien terhadap kasus medisnya lebih sering karena dokter menjawab pasien hanya jika ditanya.
Kasus Steven-Johnson, misalnya. Ini kasus alergi hebat yang bisa mengancam nyawa pasien akibat obat atau suntikan. Kita tahu, dalam tradisi berobat, pasien kita umumnya tak memiliki ”paspor” kesehatan selain tak punya dokter keluarga. Pasien kita umumnya selalu asing di mata dokter yang dikunjunginya.
Secara medis, tanpa data lengkap pasien, sulit bagi dokter meramal reaksi alergi hebat yang mungkin menimpa pasien. Selain itu, karena keterbatasan waktu praktik, banyak dokter juga kurang mengorek kondisi medis pasien yang belum dikenal. Jika saja dokter lebih banyak bertanya, misalnya adakah bakat alergi, dan menjelaskan kemungkinan alergi hebat bisa terjadi sehabis berobat, dan sekiranya sampai muncul kasus pun, tentu tak sampai diopinikan sebagai malapraktik karena pasien sudah tahu jika risiko itu bakal terjadi. Hingga kini, kasus Steven-Johnson diopinikan masyarakat sebagai kesalahan pihak medis.
Kasus Prita muncul karena tidak dibangun komunikasi dokter dengan pasien. Tanpa penjelasan apa yang dilakukan dokter dan yang akan dialami pasien serta akibat yang mungkin muncul dari berobat, keterbatasan wawasan pasien ihwal penyakitnya mungkin melahirkan opini miring yang justru merugikan dokter.
Tiap dokter mengetahui kewajiban pribadi dan hak pasien. Bukan melalaikan keinsafan itu saja jika kasus malapraktik dan
Industri medis yang kita anut dan fakta yang merongrong moral dokter adalah rumah sakit harus berinvestasi dan perlu berhitung agar tetap melaba. Pasien yang dilayani pun melebihi jumlah dokter sehingga tergoda berpraktik hingga larut malam dengan konsekuensi praktiknya tidak lagi profesional berpotensi membahayakan pasien.
Mengingat penghargaan pemerintah tak memadai, ada banyak dokter memilih menerima iming-iming dari perusahaan farmasi. Ini mengakibatkan harga obat mahal dan harus dipikul pasien. Praktik memberi obat yang tak perlu dan memilih yang lebih mahal (
Dokter dan rumah sakit bisa terjebak berlaku nakal dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien yang teperdaya jika orientasi profesi dokter hanya demi duit. Tanpa akhlak yang elok, hukum medis bisa ditekuk, regulasi medis bisa dilipat, dan dokter memanfaatkan kekuasaannya yang tinggi. Rekam medis sebagai satu-satunya bukti tindak malapraktik ada di bawah kekuasaan dokter.
Otonomi profesi dokter kelewat tinggi sehingga jika akhlak dokter lumpuh, dokter bisa berkelit dari tudingan melakukan kesalahan. Hukum dan regulasi medis bisa ditaklukkan. Namun, tidak demikian bila akhlak dokter terawat.
Hak pasien harus difungsikan. Wawasan kesehatan masyarakat perlu bertambah cerdas agar lebih kritis dan skeptis atas layanan medis yang diterima. Sadar akan hak sebagai pasien dan kaya wawasan kesehatan membantu dokter merawat akhlaknya. Dokter tidak sembarangan melakukan pekerjaan profesinya. Kita sepakat, tak ada yang lebih berkuasa dari akhlak dalam keunggulan profesi apa pun.
Akhlak dokter tidak boleh dikalahkan oleh apa pun dan tetap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar