Kepemimpinan Sosial Media
Oleh Meuthia Ganie-Rochman
Media yang independen selalu merupakan bagian penting dari demokrasi. Lembaga ini memungkinkan rakyat membuat penilaian bagaimana keputusan publik diambil, oleh siapa, dan menguntungkan siapa. Hal semacam ini memang yang terjadi di Indonesia pascareformasi.
Beberapa media nasional, terutama televisi, bahkan menjadikan dirinya sebagai wilayah publik, sebagai tempat pertukaran gagasan yang kencang.
Tampaknya tidak ada masalah dengan peran media saat ini. Bahkan, banyak orang memuji peran yang dijalankan media sebagai saluran yang dapat digunakan untuk menghadapi koalisi para politisi maupun korupsi yang menyelusup ke dalam institusi sumber daya publik.
Gejala kebingungan
Pentingnya hal ini dapat dilihat dari munculnya gejala kebingungan dalam masyarakat dengan tereksposnya berbagai persoalan politik dan keroposnya sistem demokrasi kita. Di kalangan organisasi masyarakat terjadi pula gejala keretakan yang disebabkan terbelahnya penilaian terhadap tokoh-tokoh dalam drama Bank Century. Bukan salah media dalam hal ini. Justru gejala ini menunjukkan perlunya reorientasi peran media dalam menjalankan perannya yang lain dalam proses demokratisasi di Indonesia.
Sekarang ini terjadi kemunduran dalam wilayah polity, yaitu bagian masyarakat yang sadar dan aktif secara politik. Dalam suatu masyarakat yang demokratis sekalipun, hanya ada segolongan kelompok masyarakat yang bermakna secara politik. Artinya, mereka inilah yang memerhatikan politik dan mampu ikut dalam wilayah publik. Kemunduran ini ditunjukkan dengan dua hal penting, yaitu, seperti telah disebut, keretakan di kalangan pejuang reformasi tata kelola dan keletihan politik di kalangan anggota polity.
Keadaan ini berbahaya karena melemahkan dorongan pembaruan. Jika kalangan ini letih, para elite politik hanya merasa perlu mengeluarkan kebijakan yang tampak populis untuk mengesankan sebagian besar anggota masyarakat lainnya. Apakah di balik itu terjadi sistem yang dikorupsi, tidak ada yang memerhatikan lagi.
Kekacauan di dalam sistem demokrasi kita yang terjadi paralel dengan terbukanya arena publik menunjukkan bahwa arena publik yang terbuka tidak selalu berhubungan positif dengan proses demokratisasi yang stabil. Mengapa arena publik tampak tidak mampu menghasilkan pembaruan tata pemerintahan dan demokrasi Indonesia menjadi sesuatu yang membawa kemakmuran? Apa peran media dalam hal ini?
Reorientasi peran
Media harus melakukan reorientasi peran baik dalam mendukung wilayah polity maupun bagi masyarakat lebih luas. Polity yang efektif untuk melakukan pembaruan bukan hanya membutuhkan pengetahuan, kesadaran politik, dan partisipasi politik yang diangkat di wilayah publik.
Nilai yang ada harus melampaui apa yang selama ini dipahami dalam demokrasi—hak asasi, kesamaan, pluralisme—tetapi juga menyangkut nilai-nilai tentang tanggung jawab, akuntabilitas, dan kinerja (performances).
Penguatan pertama adalah masalah kredibilitas. Setiap aktor yang bermain di wilayah publik harus punya rekam jejak yang jelas, kredibilitas dan integritas, prestasi, serta kerja nyata. Jadi, semuanya bisa diukur. Orang yang hanya sesumbar tanpa kerja nyata yang relevan harus disingkirkan karena hanya membuat gaduh. Politisi harus punya karya dalam memajukan masyarakat serta rekan jejak organisasi yang bersih. Demikian pula dengan tokoh masyarakat dan aktivis. Peran media adalah menyorot aspek kredibilitas ini, bukan omongannya saja.
Wilayah publik juga harus mempunyai persambungan dengan pengambilan keputusan. Berbagai pandangan yang dihasilkannya harus mempunyai mekanisme agar terserap di pusat-pusat pengambilan keputusan. Dalam kasus demokrasi di Indonesia, pusat-pusat itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat, partai politik, dan lembaga eksekutif. Peran media adalah membangun dan memperkuat mekanisme ini.
Belakangan ini, misalnya, mekanisme akuntabilitas DPR tak banyak diperhatikan lagi. Apakah ini menunjukkan media dan polity sudah menerima nasib dalam struktur perpolitikan semacam ini? Parpol meskipun di satu sisi di pandang sebagai bagian dari polity, di sisi lain juga saluran antara wilayah publik dengan DPR dan pemerintah. Partai yang baik harus memiliki litbang yang kuat, komunikasi terstruktur dengan masyarakat, dan proses pengolahan gagasan internal. Kapan terakhir media memerhatikan hal ini?
Peran media yang berkaitan dengan masyarakat luas di luar polity adalah membangun rasionalitas berbangsa. Kita tidak akan membahas media massa yang hanya merusak orientasi masyarakat melalui sinetron, infotainment, kekerasan, dan seks di sini. Media tidak cukup hanya memberikan informasi, tetapi perlu memberikan pengetahuan (knowledge) yang mengandung prinsip kebajikan, logika sehat, dan pertanggungjawaban. Televisi NHK dapat memberikan contoh bagaimana televisi memberikan pengetahuan dengan cara yang sederhana dan menarik.
Meuthia Ganie-Rochman,
Pengajar di UI Depok
Source : Kompas, Jumat, 15 Januari 2010 | 04:05 WIB
Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
Phiner @ Jumat, 15 Januari 2010 | 14:22 WIB
Setuju dengan tulisan di atas, media harus mereorientasikan kembali peran sosialnya di masyarakat.... Nara sumbernya juga yg itu2 aja, emang tak ada yg lebih???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar