Kamis, 26 November 2009

Tajuk Recana : "Wartawan Korban Pembantaian di Filipina"

TAJUK RENCANA

KOMPAS, Kamis, 26 November 2009 | 03:11 WIB

Terjebak Pada Prosedur

Sebuah langkah telah diambil Polri. Lembaga itu mengganti Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji.

Dewan Kebijakan Jabatan dan Kepangkatan Tingkat Tinggi bersidang sehari setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato pada Senin (23/11). Salah satu hasilnya adalah mengganti Susno dengan Inspektur Jenderal Ito Sumardi. Alasannya tidak diungkapkan secara jelas. Penggantian Susno diumumkan berbarengan dengan mutasi 25 perwira di lingkungan Polri.

Pada hari Senin Presiden menyampaikan sikap politiknya. Bagi Presiden, kasus hukum Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah tidak perlu dibawa ke pengadilan. Presiden pun mengingatkan perlunya tindakan korektif di lingkungan penegak hukum.

Kita menghargai langkah Polri mengganti Susno meskipun sejumlah pihak menilai langkah Polri terlambat. Akan tetapi, ada juga pandangan bahwa lebih baik terlambat daripada tidak ada tanggapan sama sekali.

Sikap politik Presiden Yudhoyono berkaitan dengan kasus Bibit dan Chandra perlu segera ditindaklanjuti para pembantunya. Perlu ada langkah konkret dari Kejaksaan Agung untuk memastikan status hukum Bibit dan Chandra. Kepastian status ini penting karena kita harus segera melangkah pada tugas reformasi lembaga penegak hukum yang lebih sulit dan kompleks. Kecenderungan kita untuk menggunakan alasan legal-formal dan prosedural hanyalah akan menciptakan sebuah ketidakpastian yang tidak menguntungkan bangsa ini.

Sebagaimana dalam pemberitaan, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan, perkara dugaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang yang disangkakan kepada Bibit dan Chandra tidak serta-merta bisa langsung dihentikan. Ada sejumlah prosedur legal-formal, termasuk menerima bukti dan tersangka, menilai layak-tidaknya perkara diajukan ke pengadilan, baru kemudian akan ditentukan sikap penyidik kejaksaan. Proses itu memakan waktu 14 hari!

Prosedur memang penting. Meski demikian, kita mempertanyakan cara pandang penegak hukum kita yang kadang terlalu formalistik, terlalu legalistik, sementara permasalahan di luar telah berkembang begitu kompleks. Kita tersandera oleh cara pandang legalistik yang kadang jauh dari substansi persoalan kebenaran dan keadilan.

Kita memandang konkretisasi dari sikap Presiden dalam kasus Bibit dan Chandra adalah hal yang harus diutamakan. Langkah sigap pembantu Presiden menyelesaikan kasus Bibit dan Chandra akan membantu Presiden Yudhoyono untuk bisa segera mengimplementasikan program 100 hari pemerintahannya.

Sudah lebih dari 35 hari—dari 100 hari pertama pemerintahan Presiden Yudhoyono—hilang untuk menyelesaikan kasus hukum Bibit dan Chandra! Padahal, rakyat sudah menantikan implementasi dari program 100 hari tersebut !

***

Kami Ikut Berduka

Paling tidak, dua belas wartawan dibunuh. Ada yang ditembak. Ada yang dibunuh dengan senjata tajam. Puluhan penduduk sipil lainnya juga tewas.

Tragedi itu memang terjadi di Provinsi Maguindanao, Filipina selatan, pekan lalu. Meskipun demikian, peristiwa itu tetaplah mengusik insan pers di mana saja, dan juga mereka yang peduli dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan terhadap masalah kemanusiaan, kebebasan berpendapat, dan berekspresi.

Sangat masuk akal kalau berbagai reaksi bermunculan dari mana-mana, mulai dari yang menyayangkan sampai dengan mengecam bahkan mengutuk tindakan itu. Kelompok kebebasan pers internasional, Reporters Without Borders, yang berpusat di Paris, Perancis, misalnya, mengutuk pembunuhan terhadap wartawan itu, yang disebutnya ”pembunuhan paling buruk dalam sejarah”.

Komite Perlindungan Wartawan (CPJ) yang berpusat di New York menyatakan pembunuhan itu sebagai ”bencana yang sesungguhnya”. Berbagai organisasi wartawan di Filipina sangat mengecam kekejaman itu dan mengutuk dengan keras.

Kekerasan terhadap pers tidak hanya terjadi di Filipina, di negeri kita pun ada. Ada daftar panjang mengenai kekerasan terhadap pers yang terjadi di negeri ini. Semua itu membuktikan bahwa profesi wartawan, yang seharusnya mendapatkan perlindungan berdasarkan prinsip-prinsip universal kebebasan pers, masih menjadi profesi yang rawan di banyak negara, termasuk di Indonesia.

Ada yang bilang the first casualty of war is truth. Korban pertama dari sebuah perang adalah kebenaran. Namun, wartawan tetap saja ngotot, the first obligation of journalism is to the truth. Karena itu, untuk melaporkan the truth atau kebenaran, wartawan berani mengambil risiko kehilangan nyawanya sendiri, tentu tanpa kesia-siaan.

Kita tahu dua prinsip di dunia kewartawanan yang bertabrakan dalam liputan di daerah konflik. Prinsip pertama, jika terjadi sebuah peristiwa besar, liputlah ke lokasi bagai kesetanan. Meliput langsung dari tempat kejadian perkara merupakan mahkota seorang wartawan.

Masalahnya, ada prinsip kedua jurnalistik yang harus diperhatikan betul, yaitu tak ada berita sebesar apa pun yang harus ditebus dengan nyawa seorang wartawan. Bagaimanapun nyawa seorang wartawan harus dianggap lebih berharga ketimbang peristiwa besar apa pun yang diliputnya.

Kembali ke Filipina, para wartawan tersebut tewas sebagai imbas dari pertarungan politik, pertarungan antarklan untuk memperebutkan kekuasaan di Maguindanao. Jelas bagi kita bahwa nafsu akan kekuasaan telah membutakan mata hati para pemburu kekuasaan dan mengabaikan semua prinsip kemanusiaan. Nyawa menjadi tidak ada artinya bagi kekuasaan. Ini sangat memprihatinkan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar