Rahasia Negara Sangat Berat
JAKARTA - Pemerintah diminta mengubah ketentuan sanksi pidana dalam Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara yang berpotensi memberangus kebebasan pers, pembredelan perusahaan media massa, dan pengkriminalan jurnalis.
Sanksi semacam itu dinilai masih mendominasi dalam sejumlah pasal dalam RUU Rahasia Negara dan menjadi salah satu sumber kecaman elemen masyarakat sipil dan pers. Ketentuan soal sanksi pidana ada dalam Bab X Pasal 42-49 RUU tersebut.
Dalam rapat pembahasan, Rabu (9/9), anggota Panja RUU Rahasia Negara, Dedi Djamaluddin Malik dari Fraksi Partai Amanat Nasional, mengingatkan, ancaman sanksi denda dengan angka nominal tinggi akan membebani media massa dan bahkan membangkrutkan perusahaannya.
”Padahal, kemampuan perusahaan media massa, apalagi di daerah-daerah, berbeda-beda. Kalau dendanya sampai miliaran atau bahkan ratusan miliar rupiah, dipastikan perusahaan-perusahaan media massa akan bangkrut dan mati,” kata Dedi.
Selain sanksi denda, ketentuan dalam Pasal 49 RUU Rahasia Negara juga berpotensi memberangus media massa.
Dalam pasal itu diatur tentang sanksi terhadap korporasi yang melanggar ketentuan tentang kerahasiaan negara.
Sebuah korporasi dapat diancam hukuman berada di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang jika terbukti melanggar UU tentang Rahasia Negara.
Menolak keras
Dari sejumlah alasan tersebut, Masyarakat Pers Indonesia pada Selasa kemarin mendatangi Panja RUU Rahasia Negara dan menyatakan sikap resmi menolak keras isi RUU Rahasia Negara rancangan Departemen Pertahanan.
Meski begitu, Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ideologi dan Politik Agus Brotosusilo membantah semua kekhawatiran tadi. Bantahan itu dia sampaikan baik dalam rapat panja maupun kepada wartawan seusai rapat.
Agus menyatakan, pemerintah bahkan telah merevisi dan akan menyampaikan hasil perubahan tersebut dalam rapat-rapat panja berikutnya. Revisi dibuat agar semua kekhawatiran yang muncul dan dilontarkan masyarakat selama ini tidak lagi terjadi.
”Kami sudah ubah beberapa klausul, seperti Pasal 44 tentang pidana penjara paling singkat, bervariasi dari dua hingga empat tahun, disesuaikan dengan tingkat kerahasiaannya. Juga soal sanksi pidana terhadap korporasi, yang kami batasi hanya akan dijadikan sebagai korporasi di bawah pengawasan,” ujar Agus.
Sebelumnya, dalam Pasal 44, sanksi pidana yang dicantumkan bervariasi, paling singkat lima hingga tujuh tahun dan paling lama 15-20 tahun sesuai tingkat kerahasiaan, dan ancaman pidana 20 tahun hingga hukuman mati terkait pelanggaran yang dilakukan dalam masa perang.
Lebih lanjut Agus mengingatkan, ancaman sanksi pidana yang diatur dalam Bab IX tidak dibuat atau diadakan khusus untuk menyasar pada media massa, jurnalis, atau perusahaan media massa.
Bukan hanya media
Sasaran sanksi pidana, termasuk denda dengan nominal tinggi, menurut dia, juga ditujukan kepada korporasi-korporasi multinasional bermodal kuat yang selama ini banyak mengincar informasi penting tentang kekayaan sumber daya alam Indonesia dengan berbagai macam cara.
”Kalau dikatakan tadi sanksi denda yang tinggi bakal membangkrutkan perusahaan media massa, kan dalam pasalnya disebut sanksi maksimal. Jadi, nanti tergantung hakim yang akan memutuskan. Kami yakin tentu saja hakim akan mempertimbangkan seadil-adilnya,” kata Agus.
Agus menambahkan, jika dalam praktiknya nanti hakim justru memutus sanksi denda yang berat, sementara diketahui kemampuan korporasi tersebut, termasuk perusahaan media massa, tidak mampu menjangkau, yang salah adalah hakim dan bukan ketentuan UU-nya.
”Tidak bisa juga kalau tadi dikatakan sanksi pidana disesuaikan ketentuan UU Pokok Pers. Risiko pembocoran rahasia negara, kan, bisa membahayakan kedaulatan dan keselamatan bangsa dan negara. Jadi, besaran nominal denda itu sudah kami sesuaikan dengan risikonya,” ujar Agus. (DWA)
Source : Kompas, Kamis, 10 September 2009 | 03:20 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar