Agama Seharusnya Martabatkan Manusia
Elite Agama Bertugas Mendewasakan Masyarakat
JAKARTA - Kita memerlukan cara keberagamaan Islam yang memartabatkan manusia. Dalam proses pemaknaan terhadap kitab suci, manusia mesti diposisikan sebagai subyek mulia yang mampu mendialogkan wahyu dengan perubahan-perubahan yang terus terjadi.Elite Agama Bertugas Mendewasakan Masyarakat
Lewat konsep ijtihad, agama diharapkan mampu menjawab persoalan kontemporer yang tak pernah muncul dalam generasi masa lampau.
Demikian diungkapkan intelektual muda Islam, Ulil Abshar Abdalla, dalam pidato kebudayaan bertajuk ”Sejumlah Refleksi tentang Kehidupan Sosial-Keagamaan Kita Saat Ini” di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (2/3) malam. Acara ini diselenggarakan Forum Pluralisme Indonesia, hasil bentukan sejumlah lembaga sosial-keagamaan untuk mendukung dan menyebarluaskan gagasan-gagasan pembaruan agama.
”Tugas intelektual Muslim mendatang adalah bagaimana mempertimbangkan aspek pengalaman manusia sebagai subyek yang karim itu dalam perumusan hukum agama, dalam memahami ketentuan-ketentuan yang dianggap berasal dari Tuhan. Manusia sebagai subyek sejarah dengan seluruh kerumitannya tidak bisa diabaikan dalam pemahaman agama,” katanya.
Pemahaman keagamaan semacam itu disebut khalafisme dan diajukan para pemikir Muslim liberal dan progresif. Khalafisme menghendaki, pemahaman keagamaan terus tumbuh seturut perkembangan peradaban manusia. ”Khalafisme tidak menolak Quran dan sunah sebagai sumber otoritatif, tetapi memahaminya secara kontekstual.”
Cara pandang khalafisme berusaha merevisi pemahaman salafisme yang masih menyelimuti modus keberagamaan umat Islam sekarang ini. Dalam salafisme, peran akal sehat, konteks kesejarahan, dan visi etis sebuah doktrin terus diabaikan. Mereka memahami agama dengan memberikan tekanan tinggi pada firman Tuhan dan teks suci, sembari mengabaikan konteks sejarah dan pengalaman manusia.
Bagi Ulil, gerakan salafisme punya beberapa kelemahan. Seluruh ajaran dari masa lampau dianggap masih memadai untuk menjawab masalah yang dihadapi masyarakat saat ini. Seluruh teks kitab suci dinilai terang-benderang sehingga tak membutuhkan penafsiran. Kalau ada tafsir, mereka terjebak pada ”otoritarianisme hermeneutik”—hanya ada satu jenis penafsiran yang dianggap absah dan absolut.
Perubahan
Ulil mengajak kaum agama untuk mendamaikan antara keimanan dan perubahan karena perkembangan sosial dan sejarah. ”Kita semestinya bersikap lebih moderat dengan menjaga keseimbangan antara tradisi dan perubahan, antara otentisitas dan modernitas.”
Dia mengkritik kaum elite agama yang tidak berusaha mendewasakan umat dengan mendorong mereka menghormati perbedaan tafsir dan paham dalam masyarakat. Elite justru meresahkan masyarakat dengan menakut-nakuti bahwa paham-paham baru itu akan menimbulkan rasa waswas dan instabilitas dalam masyarakat. Tugas elite seharusnya mendewasakan masyarakat sehingga mereka bisa menerima perbedaan secara lapang dada. (IAM)***
Source : Kompas, Kamis, 4 Maret 2010 | 04:59 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar