Kamis, 10 September 2009

Perdebatan tentang RUU Rahasia Negara

Rahasia Negara dan Kebebasan

Oleh : ARIF WICAKSONO

Ada hal menarik dalam perdebatan RUU Rahasia Negara dan menjadi perhatian insan pers serta masyarakat sipil.

RUU Rahasia Negara memiliki landasan yaitu melindungi penggunaan informasi yang kelak akan digunakan pejabat publik. Landasannya sederhana, RUU Rahasia Negara merupakan pembatasan terhadap informasi yang berpengaruh terhadap keamanan dan kepentingan publik.

Logikanya, jika informasi cukup ”spesial”, informasi itu tidak dapat diakses cuma-cuma. Bagaimana jika, misalnya, rakyat menggunakan akses itu untuk kepentingan akademik? Jika pejabat publik tidak dapat menggunakannya, bukankah rakyat juga mengalami hal serupa? Hal ini akan menimbulkan polemik jika akses rakyat disamakan dengan pejabat. Menjadi lebih pelik lagi jika informasi yang digunakan rakyat, misalnya, juga dapat digunakan pejabat bersangkutan.

Dalam beberapa pasal dinyatakan, RUU Rahasia Negara melegalkan negara memonitor hampir seluruh informasi tentang aspek sosial, hukum, ekonomi, dan pertahanan yang termasuk peliputan terhadap gerak barang, informasi, dan aktivitas di dalamnya. Ini adalah anomali rezim demokratis yang seharusnya melegalkan prinsip dasar kebebasan dan keterbukaan.

Konsep ”panopticon”

Pada dekade 1880-an, Jeremy Bentham mengeluarkan panopticion, konsep penjara untuk mengontrol manusia dalam penjara. Panopticion didesain dengan membatasi kesadaran narapidana dalam beraktivitas dan memberi kemudahan akses bagi sipir penjara untuk mengintai penuh kegiatan narapidana tanpa sepengetahuan narapidana.

Kontrol dilakukan dengan kaca khusus, membuat sipir leluasa mengawasi narapidana. Meski demikian, narapidana tidak menyadari bahwa kegiatannya diobservasi sipir (Bentham: 1882).

Dalam analogi tipe pemerintahan, konsep panopticon menjadi ideal dengan ulah pemerintah atau institusi demokratis yang tidak memberi transparansi atau keterbukaan bagi rakyat untuk menikmati proses pemerintahan yang berjalan.

Dalam RUU Rahasia Negara terlihat upaya negara memonitor rakyat dalam keterbatasan akses dalam dimensi sosial atau ekonomi yang dianggap rahasia. Penerapannya memang tidak seekstrem konsep Bentham, tetapi tidak juga menjauhi konsep Bentham karena pembatasannya membuat negara menjadi katalisator bagi arus informasi yang berkembang biak. Dengan kata lain, memberi peluang bagi terciptanya ruang kebebasan dan keterbukaan untuk dimonopoli ”sipir” berkedok negara.

Demokrasi Indonesia

Prospek kebebasan dan keterbukaan di Indonesia masih berkutat pada masalah kualitas institusi demokrasi dan komitmen mekanisme demokrasi. YB Mangunwijaya pernah mengingatkan, unsur komunisme dapat berada dalam sistem demokrasi saat kontrol negara menjadi ketat dan tidak memungkinkan masyarakat ”menikmati” proses politik, sosial, dan ekonomi secara bebas (Mangunwijaya: 1997).

Setali tiga uang dengan Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (2003) yang mengatakan, dilema antara korelasi kesuksesan institusi demokrasi dan demokratisasi adalah saat sejumlah institusi demokrasi dengan legitimasinya justru tidak menghadirkan prospek keterbukaan dan kebebasan yang positif.

Artinya, sejumlah partai politik, institusi, dan lembaga demokrasi kebanyakan tidak menjamin prospek kebebasan dan keterbukaan dalam berdemokrasi karena dalam beberapa kasus, tujuan ideal demokrasi menjadi tumpul saat berhadapan dengan negara monopolistik meski berstruktur demokratis.

India memberi contoh baik. Sebagai negara berkasta yang memberlakukan kebebasan informasi bagi rakyatnya dengan Right to Information Act, India tak saja menjamin rakyatnya untuk mengelola informasi, tetapi juga menanyakan masalah kritis mengenai kinerja tata pemerintahan (Newsweek, 15/6/2009).

Bagaimana Indonesia? Sejak masa kemerdekaan, beragam gerakan muncul silih berganti dari zaman Petisi 50, masyarakat reformasi, masyarakat korban lumpur Lapindo hingga masyarakat korban pemilu, serta sejumlah kelompok lain, yang muncul sebagai respons atas kezaliman penguasa terhadap kebebasan dan keterbukaan. Namun, hasilnya masih jauh dari harapan.

Di balik umur proses transisi demokrasi yang mulai matang, muncul keresahan dalam perkembangan kebebasan dan keterbukaan. Salah satunya adalah kemunculan RUU Rahasia Negara yang tidak saja bersifat politis, tetapi menjadi masalah serius ketika pada saat yang sama rakyat menghasilkan banyak pertanyaan terkait isu penegakan hukum, politik, keamanan, ekonomi serta transparansi birokrasi yang kian menghangat dan pada saat yang sama negara menghasilkan produk RUU yang berpotensi mengaburkan kondisi nyata yang ada.

ARIF WICAKSONO, Analis Sosial-Politik; Peminat Studi Demokrasi di Jurusan Ilmu Politik FISIP UI.

Source : Kompas, Kamis, 10 September 2009 | 05:11 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar