Sabtu, 29 Agustus 2009

Hingga Kini, Dokumen Asli Supersemar Masih Dipertanyakan

Presiden SBY Pertanyakan Dokumen Supersemar

Saat Bertemu Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia

JAKARTA – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanyakan keberadaan dokumen asli Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar) kepada Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Djoko Utomo, yang kemarin datang ke Kantor Presiden.

Pencarian terhadap dokumen penting itu terus dilakukan. Sekretariat Negara juga akan membantu Arsip Nasional untuk menemukan dokumen yang dimanfaatkan Soeharto untuk membangun rezim Orde Baru tersebut. "Presiden bertanya tentang ar­sip Supersemar. Yang asli memang belum ketemu, tapi memang ada," kata Djoko seusai bertemu SBY di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin.

Djoko mengatakan, sebagaimana naskah lain seperti teks proklamasi, wajar jika baru bisa ditemukan di kemudian hari. Dia mencontohkan, naskah proklamasi bertulis tangan yang asli baru diserahkan ke Arsip Nasional pada 1992. Sedangkan teks proklamasi yang diketik oleh Sayuti Melik, diserahkan pada 1960, Naskah asli Supersemar hingga kini masih menjadi misteri. Ketiga jenderal yang mendatangi Presiden Soekarno ke Bogor saat penandatanganan surat itu, yakni Jenderal M Jusuf, Amir Machmud, dan Basuki Rahmat, sudah almarhum.

Di bagian lain, Djoko mengatakan, pihaknya saat ini juga tengah mengumpulkan arsip-arsip terkini yang cukup penting. Di antaranya adalah arsip tentang Pemilu 2004 berserta dokumen sengketa Pemilu. "Kami saat ini menyelamatkan arsip Pemilu 2004, termasuk sengketa pilpres," ujar Djoko.

Dokumen itu sangat penting terutama di masa mendatang. Masyarakat luas juga akan makin dimudahkan mengakses Arsip Nasional, Kecuali dokumen yang bersifat rahasia, masyarakat bisa bebas mengakses.

Arsip Nasional juga terus mengumpulkan arsip-arsip yang masih berserakan di negara lain. Berdasarkan Konvensi Viena 1983, jika arsip diberkaskan di Indonesia, wajib dikembalikan ke tanah air. Namun untuk arsip mengenai Indonesia yang tidak di­berkaskan di tanah air, pemerintah bisa meminta copy ■ JPNN

Source : Rakyat Merdeka, Sabtu, 29 Agustus 2009

Media Massa Siap-siap Dibui Dan Dibredel

JAKARTA - DPR periode 2004-2009 ndablek. Meski telah dikritik sana-sini, pengesahan RUU Rahasia Negara tetap dipaksakan sebelum masa periode sekarang berakhir.

Ketua Komisi I DPR, Theo L Sambuaga menjelaskan, penge­sahan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara menjadi Un­dang-Undang setelah melalui revisi. Dengan begitu, kata dia, kehadiran Undang-Undang baru tersebut tidak merugikan masyarakat banyak.

"Itu janji DPR terhadap RUU ini. Kita tidak ingin produk UU yang diudangkan nanti justru me­rugikan banyak pihak, khususnya media sebagi pusat informasi berita publik," katanya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Pasal-pasal apa saja yang telah direvisi pada RUU Rahasia Negara itu? Kata Theo, di antara yang telah diperjuangkan itu adalah soal lama hukuman bagi jumalis yang melanggar UU Ra­hasia Negara.

"Dari kemungkinan yang tadinya 7 tahun penjara, mungkin bisa 2 tahun atau di bawah ini," katanya lagi.

Pasal lain yang juga tengah diperjuangkan adalah soal sanksi pencopotan izin bagi korporasi media yang telah membocorkan rahasia negara. Pencabutan izin korporasi media, kata dia, rencananya akan ditiadakan.

"Yang pasti, ancaman sanksi bagi media akan dikaji kembali sehingga tidak terjadi pengekangan bagi media dalam memberikan informasi ke publik," tandasnya.

Saat ini, lanjut dia, Panitia Kerja RUU Rahasia Negara DPR telah berhasil menyelesaikan 25 persen Daftar Isian Masalah (DIM) dalam RUU tersebut yang selama ini menjadi sorotan publik. Di antara DIM tersebut adalah ruang lingkup, definisi, kategori, dan informasi rahasia negara.

"Sedangkan sisanya seperti sanksi bagi media dan yang lain masih dibahas. Insya Allah semua bisa berjalan dengan baik, tanpa ada yang dirugikan satu sama lain," janji politisi Partai Golkar ini.

Dia menambahkan, Indonesia sangat membutuhkan Undang-Undang Rahasia Negara. Dia juga berjanji, UU Rahasia Negara tidak akan bertentangan dengan sistem demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). "Ini komitmen DPR terhadap UU tersebut," tandasnya.

Di tempat terpisah, Direktur Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Ahmad Faisol mengaku tidak yakin dengan janji po­litisi Senayan yang akan melin­dungi keterbukaan informasi publik.

Dia mengatakan, RUU Rahasia Negara tidak mungkin bisa me­lindungi media dalam memberikan informasi kepada publik. Pasalnya, kata dia, RUU yang sedang dibahas pemerintah dan DPR, secara jelas menyebutkan adanya sanksi bagi korporasi yang dianggap telah membocorkan rahasia negara.

"Bahkan, dalam RUU itu juga, media massa bisa diberedel," katanya kepada RakyatMerdeka, kemarin. Dia mengatakan, pada Pasal 49 RUU Rahasia Negara disebutkan, korporasi yang melanggar dapat dikenakan pidana denda lima puluh miliar rupiah hingga seratus miliar rupiah. Selain itu, lanjut dia, sanksi lain adalah korporasi tersebut bisa dijadikan sebagai korporasi di bawah pengawasan, dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang.

"Ketentuan itu, jelas menunjukkan bahwa tendensi negara untuk melakukan upaya pembe-rangusan terhadap kebebasan pers cukup besar. Karena, baik hukuman denda maupun penca­butan izin serta pernyataan sebagai organisasi terlarang dapat menjadi sarana kooptasi negara terhadap media," tandasnya.

Sebelumnya, anggota Komisi I DPR dari F-Partai Golkar, Yuddy Chrisnandy mengaku akan berjuang untuk menunda pengesahaan RUU Rahasia Negara di DPR. Perjuangan itu, kata dia, didasarkan pada banyaknya respons negatif atas RUU tersebut.

Untuk menggantikan RUU itu, politisi muda Golkar ini mende­sak pemerintah untuk secepatnya menyelesaikan draf RUU tentang KeamananNasional (Kamnas) ke DPR. RUU Kamnas ini, menurut dia, lebih penting dibandingkan RUU Rahasia Negara. Lebih lanjut, ia menilai, RUU Kamnas lebih mendesak jika dikaitkan dengan aksi terorisme saat ini. Sebab, RUU Kamnas lebih logis dan aplikatif untuk mengupayakan pencegahan aksi terorisme.

"Yang penting sekarang ini RUU Kamnas," tandasnya. Dia mengatakan, RUU Raha­sia Negara hanya mendesak un­tuk melindungi data-data ne­gara. Sedangkan RUU Kamnas akan mengatur koordinasi antar lembaga negara untuk melakukan pencegahan atas aksi tero­risme. ■ FIK

Source : Rakyat Merdeka, Sabtu, 29 Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar