BABUJU adalah Komunitas Penggiat Kajian Sosial dan Budaya Bima dan intens dalam analisis serta Investigasi & Advokasi Budaya & Konflik (Rangga Babuju)
Kenaikan BBM; Antara Pelajaran & Pengalaman
HL | 17 June 2013 | 12:47
Hiruk pikuk kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) sesungguhnya telah berlangsung sejak Mei 2012, dimana-mana, seminggu sebelum Rapat Paripurna kenaikan BBM ini dilaksanakan, Opini dan Wacana pun riuh redah memenuhi media, baik elektronik, cetak maupun Jejaring social. Tak luput, serambi-serambi tempat ngobrolnya warga dikampung pun ‘hangat’ membicarakan Opini tersebut. Jangan dikata, dipasar-pasar tradisional, bahasan kenaikan BBM menjadi ‘makanan harian’ selain bau-bau tak sedap akibat genangan air maupun got disekitarnya.
Beberapa pedagang yang khawatir rugi akan dampak dari kenaikan tersebut mencoba mengkait-kaitkan dan beralibi yang rasional secara ekonomi, sehingga 5 hari sebelum Rapat Paripurna penentuan Kenaikan atau tidaknya BBM di Senayan, para pedagang rame-rame menaikan harga barang dagangan dengan alasan BBM mulai langka, harga dari sana-nya sudah naik, biaya transport sudah menanjak duluan dan seabrek rasionalisasi para pedagang… Yach, namanya juga pedagang….!!
Namun, setelah tanggal 31 Mei 2012, Keputusan Penundaan kenaikan BBM pun terdengar membahana di Senayan, barang-barang yang terlanjur naik tadi, tidak ikut turun kembali seperti semula. Alasan para pedagang saat itu adalah, menunggu beberapa hari keadaan stabil. Namun setelah ditunggu menunggu, tak ada perubahan harga. Rasanya, gerakan menolak BBM pada saat itu harus puas dan bertepuk riuh karena BBM tidak jadi naik (baca: ditunda), tetapi massa gerakan sepertinya lupa, bahwa barang-barang pangan (baca; Sembako) dan sandang telah terlebih dulu naik dan tidak ada Gerakan yang dibangun untuk menurunkan harga yang sudah terlanjur naik tersebut.
Dari hal ini, Penulis melihat, Gerakan Tolak kenaikan BBM Mei 2012, Gagal. Karena target yang dikhawatirkan oleh banyak pihak atas kenaikan BBM adalah naiknya biaya produksi dan harga barangpun serta merta ikut naik. Namun, nyatanya, BBM tidak jadi naik, Harga Barang pun sulit diturunkan kembali. Gerakan pun pasif, banyak yang ‘gigit jari’, namun tidak sedikit yang menjadikannya sebagai ‘Keberkahan Opini’ khususnya dikalangan pedagang.
Sesuai dengan kesepakatan Paripurna pada tanggal 31 Mei 2012, bahwa penundaan kenaikan BBM hingga 6 bulan kemudian, guna menyesuaikan dengan kenaikan harga Minyak Dunia. Jika dihitung maju, maka 6 bulan yang dimaksud oleh DPR RI dan Pemerintah pusat jatuh pada bulan Oktober atau menjelang November 2012. Lagi-lagi, tanpa Opini dan Wacana yang jelas, Penulis teringat bahwa pada Awal November 2012, beberapa Komoditi pangan menaikan harga dagangannya dengan alasan bahwa dalam waktu dekat BBM akan dinaikan sesuai dengan rekomendasi DPR RI pada sidang bulan Mei 2013.
Akibatnya, di NTB sendiri terjadi Inflasi hingga 2 %, itupun pada komoditi cabe dan telur ayam Ras, pada Desember 2012. Begitu pula kenaikan biaya Transportasi AKDP dan AKAP, akibat isu rencana pada bulan Mei tersebut tanpa terasa, ticket Bus tidak mengalami penurunan lagi pasca itu. Lebih-lebih pada makanan siap saji seperti Bakso, Mie Ayam, Nasi Goreng, dan lain sebagainya. Seingat saya di Kota Bima – NTB, harga Bakso berkisar antara Rp 5.000 – 7.000 per mangkok. Menjelang Mei 2012, akibat Opini kenaikan BBM, harganya ‘merangkak’ menjadi Rp 8.000 hingga Rp 10.000 per mangkok. Kini, Wacana dan Opini kenaikan BBM pada bulan Juni 2013 bergulir indah, Harga bakso sudah naik terlebih dahulu menjadi Rp 11.000 hingga Rp 12.000 per mangkok, sejak seminggu yang lalu. Dan Ironinya, kenaikan ini sangat sulit diturunkan kembali, meski kenaikan BBM ditunda (lagi) maupun melalui Operasi Pasar dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan.
Nah, yang menjadi ke khawatiran kita atas naiknya BBM ini, apakah karena ketakutan kita atas mahalnya bensin sehingga kita tidak bisa lagi bisa berkendaraan rutin seperti sebelumnya? Ataukan karena khawatir berdampak pada naiknya harga sembako dan sejenisnya? Atau kah karena ingin sekedar membuat dinamika social politik saja?
Untuk itu perlu dilakukan pemetaan bersama, sebab, jika kita khawatir hanya karena terbatasnya kita berkendaraan karena Bensin naik, akan sangat kontraproduktif karena tingkat pembelian dan Kreditan Motor semakin tinggi. Tapi kalau yang di khawatirkan itu adalah berimbas pada naiknya Harga Barang, mengapa pada bulan Juni dan seterusnya pada tahun 2012 yang lalu,
Gerakan Penolakan kenaikan BBM tidak serta merta dilanjutkan dengan Gerakan menolak kenaikan harga barang akibat ditundanya kenaikan BBM itu? Namun, jika hal itu hanyalah sekedar Guyonan dalam meretas resolusi konflik dan dinamika social politik maupun ekonomi, tentu ini (baca: Opini kenaikan BBM) ini adalah salah satu strategi yang cukup sukses untuk mengelabui rakyat atas kepentingan segelintir elit kekuasaan.
Namun, apapun itu, Penulis berpendapat, BBM lebih baik naik saja karena Ditunda atau Tidak Jadi Dinaikan, tidak akan menurunkan kembali harga Sembako yang sudah terlanjur naik sebelum kenaikan BBM di umumkan oleh pemerintah pusat. Disamping itu yang merasakan dampak positif atas naiknya BBM adalah para Petani dan Peladang, juga para Pedagang Bakulan. Sebab, bagi mereka (baca: Pedagang), naiknya BBM akan berpengaruh terhadap peningkatan keuntungan yang akan mereka dapatkan.
Sedangkan yang dirugikan atas kenaikan BBM adalah warga yang kerja dikantoran dan para Mahasiswa Pengguna kendaraan bermotor. Karena ada tambahan biaya operasional yang akan mereka keluarkan untuk kendaraan yang digunakan.
Sedangkan yang lain adalah para Pelaku Industri yang takut Keuntungannya menurun ditengah tingkat persaingan dan inovasi kreatif yang semakin ketat. Lihat saja, tidak sedikit para Pengusaha akan menggunakan ‘mulut’ orang lain untuk menyuarakan ‘Tolak kenaikan BBM’ ini. Jika tidak, mereka (Pengusaha) akan menyongsong masa ‘Gulung Tikar’, bila tidak lihai dalam mensiasati kompetisi yang berlaku.
Sesungguhnya, di Daerah, Kenaikan BBM tidak berdampak signifikan sebenarnya, namun karena Isu dan Wacana yang dimainkan oleh Media lah yang kemudian melahirkan banyak asumsi dan apology atas kenaikan BBM yang diwartakan, (konon) akan berdampak buruk.
Dan saya yakin, Petani, Peladang, Nelayan dan Pekerja Kebun akan sangat bahagia atas kenaikan BBM ini, karena dampak kenaikan keuntungan atas hasil yang mereka tanam, cari dan usaha akan lebih dirasakan. Penulis tidak bermaksud berpihak sebagai Pendukung Kenaikan BBM, namun Penulis berpendapat, Lebih baik naik, ketika harga barang sudah terlanjur naik sejak opini dan wacana digulirkan.
Pemerintahan sudah cukup cerdas dalam memilih dan memilah keputusan ini. Dan setiap keputusan yang diambil tentu sudah diperhitungkan secara matang untuk 10 – 20 tahun kedepan. Oleh karena itu, saya tetap optimis bahwa keputusan menaikan harga BBM per Juni 2013, adalah Keputusan terbaik untuk seluruh pihak dan warga Negara ini. wallahualam//sumber kompasiana//
Tidak ada komentar:
Posting Komentar