BASUKI AGUS SUPARNO. (Foto:Kompas/Yurnaldi)***
BASUKI AGUS SUPARNO
Basuki, Koran dan Pendidikan
Oleh YURNALDI
Ada catatan menarik setelah Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia meluluskan doktor ke-42, Basuki Agus Suparno, Kamis (14/1) lalu. Promotor Prof M Alwi Dahlan, PhD mengatakan, yang membedakan Doktor Basuki dengan 41 doktor lain dari Ilmu Komunikasi UI adalah dia merupakan satu-satunya sosok yang memulai karier komunikasi dari bawah, sebagai loper koran.
Untuk mewujudkan mimpinya meraih jenjang pendidikan tertinggi, Basuki, anak kedelapan dari sembilan bersaudara keluarga buruh ini, pernah menjadi pengasong di gerbong kereta api dan distributor gula pasir dari rumah ke rumah,” kata Alwi Dahlan bangga, saat membacakan catatannya tentang Basuki.
Kebanggaan lain juga dikemukakan kopromotor Prof Sasa Djuarsa Sendjaja, PhD. Seusai Sidang Terbuka Senat Akademik UI, katanya, ”Kajian disertasi Basuki itu menarik dalam studi komunikasi politik karena memfokuskan pada bahasa politik terkait dengan berbagai pemaknaan dan clash of argument tentang reformasi di Indonesia.”
Basuki, lanjut Sasa, meneliti bagaimana kontestasi makna reformasi dalam drama politik pada 1997-1998 di Indonesia dan bagaimana para aktor politik berkomunikasi (political talks) tentang reformasi dalam drama politik itu. Hasil penelitian Basuki menunjukkan, selama 1997-1998 terdapat lima keadaan obyektif yang memperlihatkan panggung drama (scene) di mana reformasi dipikirkan dan saling bersaing. Alwi Dahlan menyarankan agar disertasi Basuki diolah menjadi buku.
Basuki melakukan penelitian dengan memanfaatkan surat kabar Kompas selama tahun 1997-1998. Ia mencermati pernyataan-pernyataan para aktor politik yang didukung data dari wawancara menjadi sesuatu yang menarik.
Menurut dia, ada lima keadaan obyektif yang memperlihatkan panggung drama, di mana reformasi dipikirkan dan saling bersaing. Pertama, situasi pencalonan presiden masa bakti 1998-2003 yang memperlihatkan kompetisi, saling bersaing antara mereka yang menginginkan Presiden Soeharto tak dicalonkan dan yang tetap menginginkannya.
Kedua, aksi dan demonstrasi mahasiswa. Di sini ada persaingan antara mereka yang menghentikan gerakan serta yang berkeinginan memperluas gerakan dan tingkat partisipasi guna menjatuhkan Soeharto.
Ketiga, kerusuhan massa yang memperlihatkan persaingan pemikiran antara yang melihat itu sebagai akibat kesenjangan sosial dan pembangkangan sipil. Keempat, krisis ekonomi, persaingan antara prinsip-prinsip ekonomi bebas dan ekonomi yang proteksionisme dan monopoli. Kelima, posisi ABRI dilematis, memberikan ruang kepada tuntutan reformasi atau mempertahankan kekuasaan dan pemerintahan.
”Hasilnya, Soeharto menyatakan berhenti, rezim Orde Baru diganti, dwifungsi ABRI dicabut, amandemen UUD 1945, berbagai kebijakan ekonomi dicabut, keterbukaan dan kebebasan pers, serta kekuasaan dikompetisikan secara terbuka,” ujarnya.
Penelitian Basuki berimplikasi teoretis dalam kajian komunikasi, juga berimplikasi terhadap kajian politik dan sejarah. Kata dia, telaah yang perlu dikembangkan lebih jauh sebagai implikasi teoretis bagi kajian sejarah adalah menguji otentisitas pernyataan-pernyataan yang terekam di Kompas hingga segi-segi ini dapat mencerminkan sejarah perubahan kekuasaan yang sebenarnya penuh ironi.
”Jejak komunikasi itu dapat dikembangkan lebih jauh untuk menguji presentasi sosial para aktor politik, nilai-nilai yang diperjuangkan, segi perubahan itu sendiri, dan konstelasi kekuatan dan kekuasaan yang terbentuk dan berguna bagi perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.
Semangat loper
Basuki menyadari, ia bisa meraih gelar doktor dengan kelulusan cum laude karena tempaan kehidupan yang penuh liku-liku. Ketika ayahnya, Suwoyo Wirusumitro, diberhentikan jadi buruh pabrik gula di Sragen, ayahnya mengadu nasib ke Jakarta menjadi tukang batu.
Beban hidup dan pekerjaan yang berat membuat sang ayah meninggal pada 1983. Maka ibundanya, Sugiyanti, dan adiknya pulang ke Sragen. Basuki, yang saat itu kelas II SMP 50 Jakarta, juga pulang kampung.
”Di kampung ada modal hidup berupa 20 batang pohon kelapa. Untuk makan sehari-hari, saya mengupas kelapa, Ibu yang menjual. Hasil belajar saya jelek dan menjadi bahan tertawaan. Anak pindahan dari Jakarta hanya dapat nilai 3 untuk ulangan Fisika. Tertawaan teman membuat saya termotivasi belajar otodidak. Saya berhasil lulus dan diterima di SMA Negeri I Sragen,” katanya.
Basuki ingin masuk fakultas kedokteran atau jurusan kimia, tetapi ia tak lulus tes. Menyadari sang ibu tak mampu, ia memilih berjualan koran untuk hidup dan kuliah.
”Hari pertama saya jual koran, hanya laku tiga eksemplar dan dapat uang Rp 300. Esoknya saya beranikan diri masuk-keluar kantor dan dapat Rp 1.000. Hari-hari berikutnya saya bisa menabung Rp 6.000 dan dalam setahun tabungan saya jadi Rp 300.000,” ujarnya.
Seusai berjualan koran sekitar pukul 14.00, Basuki mengasong di gerbong kereta api jurusan Klaten-Bandung dan Klaten-Surabaya. Semua hasil jualan itu dia simpan.
Basuki lalu memilih kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS). Ia tak lagi menjadi pengecer koran, tetapi loper koran. Kesibukan itu membuat dia sering terlambat kuliah.
Sekitar enam tahun menjadi loper koran, ia mengantongi penghasilan sekitar Rp 60.000 per bulan. Lulus S-1 dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,2, selain berjualan koran ia juga berjualan gula pasir dari rumah ke rumah. Modal awalnya satu karung gula pasir seharga Rp 100.000. Dari hari ke hari pelanggan Basuki bertambah, ia memerlukan 3 ton gula pasir per bulan untuk melayani sekitar 300 pelanggan.
Ketika ada peluang menjadi dosen pada 1997, temannya, Sigit Tripambudi, memotivasi, bahkan membuatkan lamaran untuk Basuki. Ketika dinyatakan lulus, ia berhenti menjadi loper koran dan distributor gula. Ia menjadi dosen tetap UPN Veteran Yogyakarta.
Studi S-2 di UNS dia selesaikan dengan IPK 3,8 dan predikat cum laude. Ia juga mendapat beasiswa S-3 di Universitas Indonesia, yang diselesaikannya selama 4,5 tahun.
”Kalau ada kemauan, Tuhan memberikan jalan. Sesuatu yang tak mungkin, bisa mungkin asal ada cita-cita dan keberanian untuk mewujudkannya. Suka-duka hidup itu menjadi energi positif mencapai keberhasilan,” katanya.***
Source : Kompas, Selasa, 26 Januari 2010 | 03:06 WIB/satimterus.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar