Jumat, 14 Januari 2011

Dampak Inflasi Menggilas Kaum Miskin

OLEH: AGUNG NUGROHO

Tingkat urbanisasi yang cukup tinggi di Jakarta menimbulkan masalah tersendiri, terutama dampaknya terhadap angka kemiskinan yang meningkat tiap tahun.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta menunjukkan bahwa angka kemiskinan pada bulan Maret 2010 saja menunjukkan angka sebesar 312.180. Walaupun pada kenyataannya, jumlah penduduk miskin ini jauh lebih banyak daripada data yang ditunjukkaan oleh BPS DKI.
Meningkatnya kemiskinan di DKI Jakarta menjadi beban tersendiri bagi Pemerintah Provinsi DKI terhadap program pengentasan kemiskinan, ditambah lagi dengan meningkatnya angka inflasi yang semakin memperburuk kehidupan warga miskin DKI Jakarta.
Bulan Desember 2010, harga-harga di DKI Jakarta mengalami Inflasi sebesar 0,76 persen. Laju inflasi tahun 2010 sebesar 6,21 persen dan laju inflasi tahun ke tahun DKI Jakarta sebesar 6,21 persen. Inflasi yang terjadi pada bulan Desember terutama disebabkan naiknya harga-harga pada kelompok bahan makanan.

Enam kelompok mengalami kenaikan indeks, yaitu kelompok bahan makanan sebesar 2,91 persen; kelompok sandang sebesar 1,92 persen; kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar sebesar 0,27 persen; kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,11 persen; kelompok kesehatan sebesar 0,04 persen; dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau sebesar 0,02 persen. Sementara itu, satu kelompok tidak me­ngalami perubahan indeks, yaitu kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga.

Inflasi ini sangat berdampak pada warga DKI Jakarta, terutama pada kaum miskin perkotaan. Biaya hidup semakin bertambah di tengah penghasilan yang tidak me­ngalami penambahan. Yang lebih terasa lagi adalah tingginya harga kebutuhan pokok dan sayur mayur seperti cabai.

Belum lagi ditambah de­ngan kenaikan harga BBM dan kenaikan tarif listrik. Hal ini akan semakin begitu dirasakan berat oleh kaum miskin perkotaaan.
Warung-warung makanan yang banyak berada di tengah perkampungan warga di dae­rah-daerah padat penduduk menjadi serbasalah. Jika ingin mengikuti kenaikan harga dengan menaikkan harga makanan yang dijual, maka itu akan semakin mengurangi jumlah pelanggan mereka, karena rata-rata pelanggan mereka adalah orang yang berpenghasilan pas-pasan.

Ibu-ibu rumah tangga adalah kelompok yang paling rentan terkena dampak inflasi. Mereka akan semakin pusing untuk mengatur pengeluaran keuangan. Ujung-ujungnya adalah dengan mengurangi pembelian terhadap kebutuhan lauk pauk, terutama sayur mayur dan bumbu-bumbu masakan. Ujung-ujungnya lagi, jatah makan yang tadinya 3 kali sehari akan berkurang menjadi cukup 2 kali sehari.

Anak-Anak sekolah bisa saja berangkat sekolah tanpa sarapan pagi, atau tidak makan siang. Ini akan berdampak pada asupan gizi bagi tubuh mereka. Begitu pun dengan balita yang juga akan terkena dampak yang sama, yaitu kurang gizi akibat susu untuk mereka tak terbeli karena penghasilan keluarga yang berkurang.

Setiap hari, semakin tinggi angka kekerasan rumah tangga yang terjadi, karena bukan tidak mungkin banyak terjadi pertengkaran di rumah tangga warga miskin yang disebabkan depresi menghadapi pengeluaran kebutuhan rumah tangga akibat inflasi ini, yang berujung dengan naiknya angka perceraian.

Tingkat kesehatan pun akan semakin menurun. Pola hidup yang tidak teratur akan memperburuk daya tahan tubuh seseorang, dan ini akan berimbas pada naiknya angka penularan terhadap penyakit seperti TBC dan stroke.
Kondisi-kondisi di atas adalah gambaran riil yang terjadi di warga miskin DKI Jakarta akibat dampak dari inflasi yang terjadi saat ini. Sudah menjadi keharusan dan kewajiban pemerintah untuk segera menangani dan menyelesaikan masalah ini, agar rakyatnya keluar dari kondisi menyengsarakan ini.

Apalagi inflasi ini lebih disebabkan salahnya kebijakan yang diambil pemerintah dalam bidang ekonomi. Kebijakan yang lebih condong berpihak pada kepentingan modal daripada kepentingan rakyatnya konsekuensinya adalah pemotongan subsidi terhadap kesejahteraan hidup rakyat dan menyerahkan sepenuhnya harga di tangan pasar.
Kebijakan pemerintah menyerahkan harga sepenuhnya ke tangan pasar, terutama dengan pencabutan subisidi, mungkin dapat mengurangi beban pengeluaran dan me­ngurangi fasilitas bagi kaum mampu.

Namun, di sisi lain, kalau masalah utamanya adalah menghindari ketidaktepatan alokasi atau mengurangi penyelundupan, berarti yang mesti diperbaiki adalah mekanismenya, bukan menghapus subsidi itu, krena bagaimanapun masyarakat di Indonesia sebagian besar masih hidup dengan penghasilan di bawah US$ 2 per hari, seperti yang dilaporkan Bank Dunia.

Akan tetapi, bagaimana caranya memperbaiki subsidi jika seluruh pendapatan negara masih terkonsentrasi pada pembiayaan moneter? Jika pemerintah tidak melakukan intervensi pada pembentukan harga, dikhawatirkan masyarakat semakin tidak berdaya menyesuaikan pendapatannya de­ngan perkembangan itu. Akhirnya, jumlah orang miskin di negeri ini akan makin membengkak. penulis adalah Ketua Dewan Kesahatan Rakyat Jabodetabek,sumber suara pembaruan.//kba.ajiinews//.

Penulis adalah Ketua Dewan Kesehatan Rakyat Jabodetabek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar